World Economic Forum

Hadiri WEF, Presiden Jokowi Paparkan Strategi Indonesia Wujudkan Ekonomi Hijau

Strategi tersebut yaitu pertama, melalui pembangunan rendah karbon sebagaimana yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

Dipublikasikan pada Kamis, 20 Januari 2022 20:20 WIB

Presiden Joko Widodo memaparkan sejumlah strategi kebijakan pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan ekonomi hijau. Strategi tersebut yaitu pertama, melalui pembangunan rendah karbon sebagaimana yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

“Kedua, kebijakan net zero emissions, di mana dengan diterbitkannya peta jalan untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060, termasuk net sink sektor kehutanan dan lahan tahun 2030. Ketiga, pemberian sejumlah stimulus hijau untuk mendorong peningkatan realisasi ekonomi hijau,” ujar Presiden dalam sesi tanya jawab pada pertemuan World Economic Forum secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 20 Januari 2022.

Kepala Negara juga menjelaskan bahwa upaya konservasi dan restorasi lingkungan cukup berhasil dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, laju deforestasi turun signifikan sampai 75 persen pada periode tahun 2019-2020, di angka 115 ribu hektare.

Selain itu, kebakaran hutan juga turun drastis. Jumlah titik panas (hotspot) pada tahun 2021 mencapai 1.369 titik, menurun jauh dari tahun 2014 sebanyak 89.214 titik. Demikian pula dengan luas lahannya yang pada tahun 2021 mencapai 229 ribu hektare, turun dari tahun 2014 yang mencapai 1,7 juta hektare.

Restorasi lahan gambut juga berjalan baik. Pada rentang 2016 hingga 2021, lahan gambut seluas 3,74 juta hektare telah direstorasi. Di samping itu, rehabilitasi mangrove dilakukan besar-besaran yang mencakup 50 ribu hektare lahan pada 2020-2021.

“Target 2024 600 ribu hektare, terluas di dunia dengan daya serap karbon empat kali lipat dibanding hutan tropis, bahkan dengan below ground mangrove dapat mencapai 10-12 kali lipat,” imbuhnya.

Pemerintah juga telah menyiapkan skema pembiayaan konservasi dan restorasi, yaitu melalui pendirian Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Badan tersebut mengelola dana lingkungan hidup yang bersumber dari dalam dan luar negeri dengan prinsip berkelanjutan yang kredibel dan akuntabel.

Selain itu, pemerintah juga melakukan penerbitan green sukuk, yaitu skema pembiayaan inovatif untuk membiayai agenda pembangunan yang ramah lingkungan. Penerbitan government bonds kategori Environmental, Social, and Governance (ESG) bertujuan untuk memperluas basis investasi yang bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial.

Pemerintah juga melakukan pengembangan mekanisme nilai ekonomi karbon sebagai insentif bagi pihak swasta dalam mencapai penurunan emisi. Di samping itu, juga penerapan budget tagging untuk anggaran iklim pada APBN dan menerapkan pajak karbon dalam menangani perubahan iklim.

Presiden Jokowi meyakini bahwa Indonesia berpotensi menjadi pemimpin pasar global dalam skema perdagangan karbon dunia. Bahkan, Indonesia diprediksi mampu mengalahkan potensi perdagangan karbon Peru, Kenya, dan Brasil sebagai sesama negara dengan luasan hutan tropis terbesar di dunia.

“Pembentukan harga carbon by country di Indonesia juga relatif bersaing dibandingkan negara pionir perdagangan karbon lainnya di dunia seperti Brasil, Peru, dan India,” lanjutnya.

Indonesia juga telah memiliki beberapa proyek percontohan REDD+ dengan skema Result-Based Payment (RBP), seperti Green Climate Fund (GCF), Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan Bio Carbon Fund (BCF) dengan total nilai komitmen sekitar USD273,8 juta.

(BPMI Setpres)