Penyerahan Kompensasi bagi Korban Terorisme Masa Lalu Bentuk Kehadiran dan Perlindungan Negara
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2020 menegaskan bahwa korban tindak pidana terorisme masa lalu berhak memperoleh kompensasi.
Negara selalu berupaya untuk hadir dalam memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia kepada korban kejahatan, termasuk korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban tindak pidana terorisme.
Presiden Joko Widodo, dalam acara penyerahan kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme masa lalu yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu, 16 Desember 2020, menyampaikan bahwa upaya pemulihan para korban dilakukan pemerintah melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sejak 2018 dalam berbagai bentuk.
“Sejak 2018 upaya pemulihan korban dilakukan melalui LPSK, dalam bentuk pemberian kompensasi, bantuan medis, dan layanan psikologis serta rehabilitasi psikososial,” ujarnya.
Pemerintah memperkuat kembali komitmen tersebut untuk pemulihan korban terorisme masa lalu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2020. PP tersebut menegaskan bahwa korban tindak pidana terorisme masa lalu berhak memperoleh kompensasi.
“Kompensasi itu bisa diajukan oleh korban tindak pidana terorisme, keluarga, ahli waris, atau kuasanya kepada LPSK,” kata Presiden.
Dalam acara tersebut, pemerintah melakukan pembayaran kompensasi sebesar 39 miliar 205 juta rupiah secara langsung kepada 215 korban terorisme dan ahli waris dari korban yang telah meninggal dunia dan yang telah teridentifikasi dari 40 peristiwa terorisme masa lalu sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab negara kepada para korban.
Untuk diketahui, dari 215 penerima kompensasi, sebanyak 20 di antaranya hadir secara langsung di Istana Negara dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Sementara 195 penerima lainnya mengikuti rangkaian acara secara virtual.
Sebelum ini, negara juga hadir dan membayarkan kompensasi kepada korban terorisme yang pelaksanaannya dilekatkan pada putusan pengadilan seperti bom Gereja Oikumene di Kota Samarinda (2016), bom Thamrin (2016), penyerangan Polda Sumatera Utara (2017), bom Kampung Melayu (2017), hingga peristiwa terorisme Sibolga (2019).
“Nilai kompensasi yang diberikan negara tentu tidak sebanding dengan penderitaan para korban yang selama puluhan tahun mengalami penurunan kondisi ekonomi karena kehilangan pekerjaan atau tidak mampu mencari nafkah lagi, mengalami trauma psikologis, menderita luka fisik dan mental, juga mengalami berbagai stigma karena kondisi fisik yang dialaminya,” kata Presiden.
Namun, kehadiran negara tersebut diharapkan mampu memberikan semangat dan dukungan moril kepada para korban untuk melewati situasi yang sangat berat akibat dampak dari terorisme. Dengan pendampingan negara, para korban dapat melanjutkan kehidupan dan menatap masa depan dengan lebih optimistis lagi.
Hadir dengan menerapkan protokol kesehatan dalam acara tersebut di antaranya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md., Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Boy Rafli Amar.