Dialog Presiden Republik Indonesia Dengan Nelayan di PPDI Brondong, Kabupaten Lamongan

Kamis, 6 Mei 2021
PPDI Brondong, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur

Presiden RI:
Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang saya hormati Bapak Menteri, Ibu Gubernur, Bapak Bupati dan para Nelayan yang pada pagi hari ini hadir di TPI Brondong, Kabupaten Lamongan,

Tadi sudah banyak disampaikan informasi dari Pak Bupati, tapi saya ingin lebih detail lagi, mungkin dari bapak nelayan yang ingin menyampaikan sesuatu. Saya ingin mendengar saja pada pagi hari ini, tidak ingin menyampaikan banyak-banyak.

Saya persilakan, silakan.

Bapak Agus Mulyono, Nelayan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Nama saya Agus Mulyono, nelayan dari Desa Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.

Yang mau saya tanyakan, Bapak, di sini ini kapal-kapal di belakang Bapak, dari ujung utara sampai barat ini adalah kapal cantrang, Bapak. Ya, jadi saya mohon kalau cantrang tetap dipertahankan, dan peraturan menterinya sudah ada. Kalau evaluasi, tetap tidak mengubah konstruksi tapi nama saja, sama Pak Menteri.

Dan sesegera mungkin SIPI-nya, (surat izin penangkapan ikan) dikeluarkan, Bapak, karena sampai satu setengah tahun ini belum dikeluarkan itu. Jadi supaya ada kepastian usaha.

Dan nelayan siap bayar pajak sesuai dengan GT. Kalau di GT yang terjangkau, misalnya 1 GT Rp100.000 atau Rp200.000 per tahun, seperti kayak kendaraan bermotor, bukan PPh. Kalau PPh, sulit karena ada musim paceklik. Jadi biar tidak seperti tidak terurus kita ini.

Terima kasih. Itu saja yang kita sampaikan, dan saya juga pernah ketemu Bapak di Istana. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Presiden RI:
Ya nanti untuk urusan teknis seperti ini, biar yang menjawab langsung Pak Menteri. Tapi saya kira apa yang disampaikan tadi saya nangkep. Nanti Pak Menteri biar yang jawab karena ini teknis banget ya.

Bapak Aditya, Pemilik Kapal:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Saya Aditya, dari Desa Blimbing. Kebetulan saya pemilik kapal, Pak.

Yang saya mau tanyakan ini dan saya sharing-kan, di pelabuhan ini agak dangkal sehingga kapal-kapal kami ini seringkali menunggu momentum untuk kita mau berlayar karena dangkal itu. Dan keduanya, baling-baling kami biasanya pecah terus karena dangkal sehingga ini mohon ada kebijakan atau apa pun yang solutif.

Terima kasih, Bapak.

Presiden RI:
Ya, kalau yang ini, saya jawab langsung. Segera saya kerjakan yang ini, langsung saya telepon setelah ini, saya telepon Menteri PU. Nanti kapannya, saya jawab, langsung saya jawab.

Bapak Eri Waryanto, Nelayan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Nama saya Eri Waryanto, dari Rukun Nelayan Brodong.

Yang mau saya tanyakan, Pak—saya asli nelayan—masalah harga ikan. Apa bisa teratasi dengan menyesuaikan dengan kinerja kami atau kerja kami untuk menafkahi keluarga kami, Pak? Apa bisa stabil, mahal seperti dulu?

Sekian, itu saja yang saya tanyakan, Pak. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Presiden RI:
Ya, kalau harga komoditas, harga ikan, itu kan tergantung dari permintaan pasar. Kalau permintaannya banyak, suplainya sedikit, pasti harga naik. Kalau ikannya enggak banyak, yang minta banyak, pasti harganya juga naik. Tapi, kalau ikannya banyak, permintaan menurun, ya pasti harga akan jatuh. Itu di semua komoditas, entah itu karet, entah itu sawit, entah itu beras, entah itu ikan.

Dan memang pemerintah tidak bisa mengendalikan mengenai harga. Pengendaliannya, mekanismenya apa? Karena ini menyangkut pasarnya, pasar luas. Ada pasar ekspor, karena tadi yang saya tanyakan juga, banyak juga yang diekspor. Pasar dalam negeri tidak bisa. Saya harus ngomong apa adanya, tidak bisa mempengaruhi harga, pemerintah enggak bisa. Pemerintah itu hanya memberikan tadi, mengenai izin, itu iya. Tapi, kalau mempengaruhi harga, sulit.

Kemarin saja kita, kayak Bulog, untuk beras, beras itu punya Bulog, itu yang bisa disimpan bertahun-tahun saja kita sering juga sulit mengendalikan, meskipun juga kalau harganya tidak naik (tinggi) sekali, kita bisa pengaruhi. Tapi, kalau barangnya enggak ada, suplainya enggak ada, harganya itu kita juga sulit mempengaruhi.

Dan memang ini—mohon maaf—ini kan juga saya berikan contoh beras. Beras itu, kalau naik, petaninya kan seneng, ya ndak? Tapi masyarakatnya, ibu-ibu ngomong ke saya, “Pak, ini harga beras naik, harga beras naik. Bagaimana?” Ya kan? Kalau harga turun, ibu-ibu semuanya (ngomong) ke saya, “Pak, terima kasih harga beras turun. Terima kasih, terima kasih.” Saya ke sawah, ketemu petani, “Pak, bagaimana harga? Bagaimana? Bapak sebagai Presiden enggak bisa memperbaiki harga. Petani berat, Pak.”

Itulah yang dinamakan rumus permintaan dan suplai. Kalau produksi beras banyak, padahal permintaan tetap, ya pasti harga akan jatuh. Tapi, kalau pas banyak yang gagal panen, berarti suplainya sedikit, yang minta masih tetap banyak, harganya naik. Ini, yang mengendalikan ini yang kadang-kadang, itu pun pemerintah punya stok, punya Bulog. Lah ini pemerintah kan enggak punya stok ikan karena memang enggak memiliki instrumen untuk itu. Sehingga saya ngomong apa adanya, memang tergantung pasar.

Karet juga sama, Pak, karet. Saya pernah di Sumatera, marah semua petani, marah semua ke saya. Tapi karet itu komoditas ekspor internasional, bukan lokal. Kalau harga permintaan pas kayak sekarang ini harga karet naik sampai 40%, bukan karena kita, (melainkan) itu karena memang permintaan pasar pas serapannya banyak. Setahun kemarin berhenti enggak ada serapan, (sekarang) ini nyerap banyak, harganya langsung naik. Kalau saya ini ke Sumatera (sekarang), banyak yang senang, “Terima kasih, Pak, terima kasih. Harga karet sudah naik.” Padahal bukan saya, (melainkan) memang pasarnya baru harganya bagus.

Jadi, saya ngomong apa adanya lagi, mboten saget, mempengaruhi itu mboten saget, nggih. Kalau ada, pemerintah bisa memengaruhi, caranya seperti apa, tolong saya diberi tahu. Mungkin bisa kita rumuskan caranya. Seperti beras, beras itupun bisa memengaruhi, tetapi sedikit, tidak banyak juga. Paling bisa menurunkan Rp200 perak per kilo atau Rp300. Lebih gede dari itu kita juga enggak bisa. Saya ngomong blak-blakan nggih. Apa adanya lah. Kita enggak pengin nyenengke panjenengan, ketok nyenengke tapi nyatanya tidak bisa melakukan, sama saja, nggih.

Monggo kalau masih, satu lagi.

Silakan.

Bapak Mugiyanto, Nelayan:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Nama saya Bapak Mugiyanto, nelayan pancing, Pak. Brondong, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Pak.

Kulo sampai’aken niki tentang masalah pelabuhan yang di depan musala ini Pak. Itu lumpurnya sangat dangkal sekali. Kita ini tidak bisa aktivitas apa-apa Pak. Sudah segini Pak dangkalnya. Sedangkan di TPI ini hanya dibongkar untuk yang nyantrang. Kalau pemancing enggak bisa bongkar di sini Pak, bongkar di tempat. Itu yang satu.

Yang kedua, untuk keluar masuknya ini, tanda …. Ini agak kecil, dua mil saja tidak kelihatan Pak, dari luar. Ini yang membahayakan seluruh nelayan pelabuhan, Pak. Lampu haluan, merah, suar ini. Ini kalau bisa kalau dipertinggikan lagi Pak, bisa jelas kalau dari tiga mil, empat mil bisa kelihatan.

Sekian Pak, terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Presiden RI:
Tadi yang pertama mengenai pendangkalan juga kan? Oke. Nanti sekalian saja, tadi yang sudah…kita kerjain sekalian.

Kemudian, yang lampu haluan nanti, sudah saya catat. Saya kerjakan sekalian nanti. Nggih. Ini telpon Pak Menteri PU belum sambung-sambung. Sudah?

Nggih, saya rasa itu kalau enggak ada yang lain. Dan ini sebentar, saya baru telpon, nanti saya jawab yang mengenai pendangkalan dan lampu haluan ini, bisar segera dikerjakan.

(audio tidak terdengar jelas, tidak menggunakan microphone)

Dua bulan lagi, pun, terjawab

Terus yang ini, enggak di…sudah cukup? Lebih dari cukup? Bangunan ini?

Oke, nggih, nggih. Sama lampu, Pak ya tadi ya? Lampu haluan, lampu haluan satu sama…

Nelayan:
Break water, Bapak. Break water sebelah timur. Supaya ini (ikan) yang dijual, tidak semuanya di sini. Di sana juga Pak.

Presiden RI:
Break water, pendangkalan dua lokasi, sama lampu haluan satu, empat.

Kalau break water mungkin anu lho…PU? PU kan? Nggih? PU?

Pendangkalan dua lokasi. Lampu haluan, sama break water.

Oke, dua bulanan lah nanti kita anukan, nggih.

Sudah, mana?

Pak Menteri, kalau yang break water di PU atau di Menhub?

Menteri PUPR:
Kalau break water bisa di PU, Pak.

Presiden RI:
Kapan bisa dikerjakan di Lamongan?

Menteri PUPR:
Oke Pak, kami…

Presiden RI:
Enggak, berapa bulan lagi kira-kira bisa dikerjain di lapangan?

Menteri PUPR:
Habis lebaran, kami ke lapangan Pak.

Presiden RI:
Perkiraan dikerjakan sehabis lebaran ke lapangan, terus dikerjakan, kira-kira kapan perkiraan?

Menteri PUPR:
Mungkin sekitar…kita anggarkan nanti Juni, Juli…Agustus Pak.

Presiden RI:
Agustus? Oke ya. Pun, di Lamongan ya. Agustus nggih. Lokasinya nanti biar di-anu Pak Bupati. Terima kasih.

Menteri PUPR:
Siap Pak.

Presiden RI:
Agustus, yang break water, pun. Pun nggih. Break waternya Agustus, terus yang pendangkalan dua bulan, pun. Bibar ba’da, pun.