Pengarahan Presiden Republik Indonesia kepada Peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XXIV dan Alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LXV Tahun 2023 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semua,
Om swastyastu,
Namo buddhaya,
Salam kebajikan.
Yang saya hormati, Menkopolhukam, Mensesneg, Gubernur Lemhannas beserta seluruh jajaran, Bapak-Ibu sekalian, para Peserta PPRA LXV dan PPSA XXIV Tahun 2023;
Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati.
Ini tadi disampaikan, yang pertama, berurusan dengan konektivitas digital ASEAN.
Yang kedua, yang berkaitan dengan Peta Jalan Kepemimpinan Digital.
Saya sangat setuju tadi yang sudah disampaikan, bahwa kita harus mengantisipasi semua perubahan, semua dinamika global yang setiap hari berubah begitu sangat cepatnya, termasuk perubahan teknologi dan digital. Di setiap pertemuan di ASEAN, pertemuan di G20, ini terus yang dibahas karena perubahannya lebih cepat, teknologinya lebih cepat daripada regulasinya. Teknologi sudah lari, regulasinya belum ada, dan itu juga terjadi di negara kita, tapi negara-negara besar pun juga tergagap-gagap mengejar larinya perubahan teknologi yang ada, utamanya teknologi digital.
Tapi sudah sering saya sampaikan jangan takut dengan perubahan karena, kalau kita takut, ya perubahan itu juga (akan tetap) terjadi kok. Tidak perlu takut terhadap perubahan, juga jangan alergi terhadap dinamika karena tidak ada ruang di dunia ini tanpa dinamika. Dan kita harus sekarang ini, mulai sekarang terbiasa dengan hal-hal itu meskipun kadang-kadang juga terkaget-kaget. Belajar yang satu ini belum selesai, sudah keluar yang lainnya. Artificial intelligence keluar, kita perlu belajar apa itu, muncul lagi generative artificial intelligence, dan yang lain-lainnya.
Dan kita tidak bisa menghentikan yang namanya digitalisasi, enggak bisa. Barangnya sudah ada. Enggak bisa kita menghentikan. Kita juga tidak bisa menghentikan perubahan teknologi, enggak bisa juga. (Perubahan teknologi) muncul terus, akan datang terus. Dan juga kita tidak bisa menghentikannya.
Apa yang harus kita lakukan? Ya, artinya kita harus cepat beradaptasi, harus cepat beradaptasi, dan juga kita harus mengikuti dan berinovasi. Kalau enggak, akan semakin jauh kita. Dan kita harus membuat strateginya, strategi yang taktis, strategi yang taktis, visi yang taktis, bukan visi yang terlalu mengawang-awang, tapi tidak bisa dilaksanakan. (Buat) strategi taktis, visi taktis yang (bisa) segera cepat dilaksanakan karena barangnya ini sudah lari ke mana-mana.
Kemudian, kalau kita lihat potensi ekonomi digital kita di Indonesia saja, besar sekali. Tahun 2020, di catatan saya, USD44 billion. Tahun 2022, USD77 billion. Tahun 2025, USD146 billion, dan tahun 2030 diperkirakan USD360 billion. Artinya Rp5.000 triliun lebih di tahun 2030. Itu dengan masih ada catatan: kalau yang namanya Digital Economy Framework Agreement di ASEAN ini bisa kita selesaikan negosiasinya di tahun 2025, angka yang terakhir tadi, yang USD360 billion itu akan lipat menjadi dua kali. Artinya USD720 billion. Kalau dirupiahkan, Rp11.250 triliun. Potensi ekonominya sangat besar sekali.
Apa sih Digital Economy Framework Agreement di ASEAN? Apa yang mau kita bicarakan? Ya, mengenai aturan perdagangan digital. Kita harus menyiapkan ini. Enggak usah berbicara globalnya dululah, (tapi) ASEAN dulu. Aturan perdagangan digital disiapkan. Pembayaran digital disiapkan. Keamanan data, hati-hati, harus proteksi, dilindungi betul.
Saya kaget kemarin setelah rapat, disampaikan kepada saya, hanya dalam waktu bulan saja—saya enggak usah sebutkan aplikasi apa—(aplikasi itu) sudah mencapai 123 juta orang masuk ke aplikasi itu hanya dalam hitungan bulan. Pembeliannya sangat masif sekali. Artinya apa? Perilaku konsumen kita sudah dipegang. Mood-nya mau ke mana, sudah dipegang. Arahnya mau ke mana, sudah bisa ditebak. Dan kita terlambat.
Jadi sekali lagi, aturan mengenai perdagangan digital, pembayaran digital, keamanan data, dan juga mobilitas talenta digital kita ini pindah ke mana, pindah ke mana. Karena sekarang Bapak-Ibu lihat Digital Nomad di Bali, dari seluruh dunia berkumpul di situ. Bagus kalau kita bisa memanfaatkan mereka, tapi yang sering dan harus saya ingatkan, karena potensinya tadi Rp11.250 triliun, hati-hati.
Kita tidak boleh hanya menjadi pasar saja. Ada potensi, tapi kita hanya jadi pasarnya saja. Oleh sebab itu, kita harus jadi pemain.
Menyiapkan pemain-pemain ini yang memerlukan kerja keras karena waktunya kita dibatasi oleh limit waktu. Teman-teman saya menyampaikan waktunya hanya dua tahun dari tahun kemarin, pertengahan tahun kemarin, hanya dua tahun. Bagaimana kita bisa menyiapkan talenta-talenta digital kita? Ini bukan barang yang mudah.
Dan kita tidak boleh hanya menjadi konsumen saja. Tadi, 123 juta tadi konsumen. Kita hanya jadi konsumen.
Dan 90 persen, hati-hati, barangnya barang impor. Lebih bahaya lagi, bukan produk kita sendiri. Kalau produk kita sendiri kita taruh di e-commerce, masih bagus. Tapi 90 persen barang impor karena harganya sangat murah. Bahkan kemarin ada baju yang dijual berapa? Rp5.000, Rp5.000. Artinya di situ ada predatory pricing. Sudah mulai bakar uang, yang penting menguasai data, menguasai perilaku. Ini semua, kita harus ngerti mengenai ini.
Sekali lagi, jangan hanya menjadi konsumen, tetapi kita harus jadi produsen. Artinya, kalau kita punya aplikasi, yang masuk ke sana produsen-produsen dari barang-barang yang kita produksi sendiri. Syukur, kita bisa masuk, ekspor ke negara-negara (lain). Enggak usah jauh-jauh, di ASEAN dulu kita kuasai. Jangan sampai kita terlena, dalam hitungan bulan enggak mau saya terkena penjajahan era modern. Jangan mau kita terkena juga kolonialisme di era modern ini. Kita enggak sadar, tahu-tahu kita sudah dijajah secara ekonomi.
Mungkin awal-awal harganya masih Rp5.000. Begitu semua sudah masuk, beli ini, sudah ketagihan, baru dinaikkan Rp500 juta, mau apa?! Sudah enggak bisa apa-apa kita karena sudah ketergantungan di situ. Oleh sebab itu, kita harus melindungi betul kedaulatan digital kita, harus dilindungi betul.
Tadi saya sampaikan regulasinya ini yang harus mengejar. Kita itu kalau mengurusi urusan masalah regulasi, mbulet-nya ke mana-mana, ruwetnya ke mana-mana. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun saja belum jadi. Teknologinya sudah lari cepat sekali. Problem ada di situ.
Sekali lagi, kita harus melindungi kedaulatan digital kita. Dan, betul-betul kita pertahankan yang namanya kandungan lokal, barang lokal. Kalau enggak bisa 100 persen (kandungan lokal) barang kita, ya paling tidak 90 persen, 80 persen kandungan lokalnya. Jaga betul yang namanya aset digital kita. Jaga betul data, informasi, akses pasar, semuanya (karena) nanti bisa menyangkut politik.
Ada yang menyampaikan, pakar digital kita, “Pak, ini hati-hati. Kalau kita tidak proteksi data-data digital kita, bisa-bisa nanti 2029, yang menentukan Presiden itu mereka.” Betapa sangat berbahayanya yang namanya perilaku konsumen, perilaku masyarakat itu bisa di-detect dengan sangat akurat.
Sekali lagi, data, informasi, akses pasar itu adalah emas-berliannya dunia digital karena sekarang ini eranya AI, eranya big data analytics, eranya machine learning yang bisa memprediksi perilaku manusia, dan bahkan tadi kalau sudah masuk ke politik bisa mengarahkannya, hanya sekali lagi bermodalkan data dan informasi.
Dan negara-negara besar risau mengenai ini. G20 di India kemarin, ada enam negara besar—enggak usah saya sebut negara mana—negara besar, enam negara berbicara dan risau—kelihatan sekali saya baca—risau mengenai AI. Dan mereka mengakui terlambat menyiapkan regulasinya. Teknologi digitalnya sudah lari jauh—ini negara besar, enam negara besar—(regulasinya terlambat disiapkan).
Kita kalau enggak lincah, enggak gesit menyiapkan ini, juga akan sama. Itu yang sering saya takutkan, itu.
Tapi kalau saya, memang lebih suka ya kita memang harus tahu tantangan-tantangan ke depan ini apa, dan kita paham sulitnya ke depan ini apa, betapa sulitnya ke depan ini apa. Oleh sebab itu, kita harus lakukan ini, lakukan ini, lakukan ini, dan waktunya sangat limited sekali. Solusinya ini, ini, begini, segera dirumuskan.
Saya sering menyampaikan di forum-forum bahwa yang namanya kepemimpinan nasional di tahun 2024, di tahun 2029, di tahun 2034 itu menjadi kunci negara kita, Indonesia, ini bisa melompat maju atau tidak karena kita memiliki bonus demografi dan yang tadi saya sampaikan.
Sekarang kita tahu semuanya serba digital, serba online. Oleh sebab itu, Peta Jalan Indonesia Digital ini harus betul-betul kita miliki. Strateginya, arahnya, targetnya harus detail, harus taktis dan harus detail. Ndak bisa lagi kita membuat sesuatu yang kelihatan besar, mengawang-awang, tapi enggak bisa dilaksanakan.
Sekali lagi, kita buat Peta Jalan Indonesia Digital. Yang namanya tol langit, yang di dalamnya mengatur infrastruktur digital, pemerintahan digital, ekonomi digital, masyarakat digital sekali lagi harus ada targetnya, harus ada arahnya, harus ada strateginya. Ya kadang-kadang ada kendala, biasa. Kemarin ada masalah di BTS. Sudah mikirin yang untuk area-area pinggir, area-area yang jauh, kita selesaikan BTS-nya, (muncul) masalah. Artinya ini mundur lagi meskipun saya yakin ini juga bisa diselesaikan di lapangan akhirnya.
Jadi, fokusnya itu di solusi, bukan di masalah. Dan jika ada tantangannya, masalah, cari solusinya. Jika ada kendala, mentok, cari jalan keluarnya. Jika masih mentok, ya pelajari lagi, coba cara lain lagi, terus begitu untuk menghasilkan sebuah solusi, untuk menghasilkan rekomendasi, dan untuk menjalankan strategi dan menjalankan kebijakan.
Saya rasa itu yang ingin saya sampaikan dalam kesempatan yang baik ini.
Saya mengucapkan selamat atas yang sudah lulus dan besok mungkin yang juga lulus. Selamat bertugas kembali, menjalankan pengabdian untuk bangsa dan negara kita.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.