Pengarahan Presiden Republik Indonesia pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri Tahun 2022

Selasa, 1 Maret 2022
Plaza Mabes TNI, Cilangkap, Provinsi DKI Jakarta

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.

Yang saya hormati, Ketua MPR Republik Indonesia, Bapak Bambang Soesatyo;
Yang saya hormati, Ketua DPR RI, Ibu Puan Maharani;
Yang saya hormati, para Menteri Kabinet Indonesia Maju, hadir bersama kita, Bapak Menko Polhukam, Pak Menteri Pertahanan, Pak Sekretaris Kabinet;
Yang saya hormati, Panglima TNI yang pagi hari ini diwakili oleh Kepala Staf Angkatan Laut karena beliau baru terkena Covid-19;
Yang saya hormati, Kapolri;
Yang saya hormati, para Kepala Staf Angkatan; dan
Yang saya hormati, para peserta Rapim TNI dan Polri;
Hadirin dan Undangan yang berbahagia.

Pertama-tama, saya ingin menyampaikan apresiasi/penghargaan, menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran TNI dan Polri atas kesungguhannya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, termasuk di dalamnya menjalankan tugas-tugas kemanusiaan, baik membantu dalam penanganan bencana maupun dalam pandemi Covid-19. Dan utamanya, saya ingin mengucapkan terima kasih atas dorongan, bantuan di lapangan dalam proses percepatan vaksinasi.

Kita tahu bahwa tantangan ke depan tidak makin gampang, tidak makin mudah, tetapi penuh dengan ketidakpastian. Dulunya, ketidakpastian itu karena disrupsi teknologi, karena Revolusi Industri 4.0, tetapi ini ditambah lagi dengan pandemi, ditambah lagi dengan perang di Ukraina. Sehingga apa? Ketidakpastian global yang itu juga merembet kepada ketidakpastian negara-negara di mana pun di dunia ini, menjadi makin meningkat. Yang dulu tidak pernah kita hitung, sekarang muncul semuanya problem-problem itu.

Kelangkaan kontainer, dulu normal sekali, semua negara mau kirim apa pun, logistiknya bisa, kontainernya cukup. Tapi sekarang? Terganggu semuanya karena perdagangan yang tidak seimbang di antara negara-negara yang ada sehingga harga kontainer naik. Kalau harga kontainer naik, freight cost-nya naik, artinya apa? Harga barangnya juga akan ikut naik. Kalau harganya naik, berarti apa? Konsumen akan membeli lebih mahal dari biasanya. Hati-hati dengan ini, baru urusan kontainer yang langka.

Yang kedua, juga yang tidak kita duga-duga, muncul kelangkaan pangan. Di beberapa negara sudah terjadi dan di semua negara sekarang ini, yang namanya food price, harganya semuanya naik. Beberapa negara besar sudah di atas 30 persen. Hati-hati dengan ini, dengan yang namanya urusan pangan.

Masih tambah lagi yang ketiga, kenaikan inflasi. Apa yang terjadi kalau inflasi itu naik? Artinya, harga-harga semuanya naik. Artinya apa? Beban masyarakat dalam keinginan untuk membeli barang itu juga makin naik, tinggi di semua negara sekarang ini. Hati-hati. Di Amerika itu enggak pernah yang namanya inflasi itu lebih dari 1 persen. Sekarang sudah di atas 7 persen. Di beberapa negara malah sudah ada yang sudah di atas 50 persen, di atas 30 persen. Jangan dianggap enteng hal-hal seperti ini. Artinya apa? Masyarakat, keinginan untuk membeli itu harus membayar harga yang lebih tinggi. Inilah tantangan-tantangan ketidakpastian yang muncul.

Yang keempat, kelangkaan energi. Sudah dulu sebelum perang, sudah harganya naik karena kelangkaan, ditambah perang, naik lagi. Sekarang harga per barel sudah di atas US$100, yang sebelumnya hanya US$50-60. Semua negara sekarang ini, yang namanya harga BBM, naik semuanya. LPG (liquefied petroleum gas) naik semuanya. Hati-hati dengan ini. Hati-hati dengan ini, kenaikan, kenaikan, kenaikan.

Karena semuanya naik, yang terjadi, yang kelima, yang terjadi adalah kenaikan harga produsen. Pabrik mau memproduksi sesuatu, dia beli bahan baku harganya naik, dia mau beli bahan pembantu harganya naik, dia mau beli BBM harganya naik. Artinya apa? Ongkos produksi naik. Terus? Harga di pabriknya menjadi jauh lebih tinggi. Terus dikirim ke pasar, berarti harga konsumennya juga nanti akan naik. Ini efek berantainya seperti itu, supaya kita ngerti, betapa ketidakpastian itu menimbulkan tantangan-tantangan yang tidak mudah.

Oleh sebab itu, kerja sekarang tidak bisa kerja makro saja, enggak mungkin. Enggak mungkin bisa menyelesaikan masalah. Semuanya, kerja makro, kerja mikro. Makronya tahu, mikronya juga harus dikerjakan di lapangan. Oleh sebab itu, kita sekarang dalam posisi seperti ini, harus mentransformasi ekonomi kita. Jangan sampai tumpuan kita kepada…pertumbuhan kita ini, 56 sampai 58 persen, itu bertumpu kepada konsumsi. Hati-hati, 56 sampai 58 persen bertumpu pada yang namanya konsumsi. Ini yang mau kita transformasi.

Transformasi ekonomi itu artinya kita akan mengubah dari konsumsi menjadi produksi, yang tumpuan fondasinya konsumsi menjadi produksi. Artinya lagi apa? Kita harus melakukan hilirisasi industri. Kita harus melakukan yang namanya industrialisasi. Artinya, yang sejak zaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), 400 tahun yang lalu, kita mengirim bahan-bahan mentah, yang kita kirim bahan mentah, sampai sekarang bahan mentah, itu yang harus kita setop. Setop, setop. Enggak bisa lagi, kita enggak dapat apa-apa. Ya, kita dapat uang dari penjualan bahan mentah, baik itu nikel, baik itu tembaga, baik itu bahan-bahan pertanian, komoditas pertanian, komoditas perkebunan, ndak. Kita enggak dapat apa-apa. Kita harus mendapatkan nilai tambah, kita harus mendapatkan added value.

Oleh sebab itu, (tahun) 2020, saya sudah sampaikan, setop nikel, enggak boleh ekspor lagi nikel, nickel ore (bahan mentah nikel), enggak. Setop. Kiriman harus minimal setengah jadi. Kemudian nanti berikutnya harus barang jadi sehingga nilai tambah itu ada di sini. Nilai tambah itu apa? Terbuka lapangan pekerjaan yang gede di Indonesia. Pajaknya bayar di Indonesia. Bea keluar bayar di Indonesia. PPN (Pajak Pertambahan Nilai) bayar di Indonesia. PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) ada di Indonesia. Dapat semua kita di sini. Kita sudah 400 tahun lebih, itu kita tidak memiliki keberanian untuk melangkah ke sana. Ini yang namanya transformasi ekonomi.

Nikel dulu oke, meskipun kita ini masih dibawa ke WTO, ke World Trade Organization. Digugat oleh Uni Eropa, enggak apa-apa. Kalau kita tidak berani mencoba seperti itu, tidak berani melakukan seperti itu, sampai kapan pun yang kita kirim hanya bahan mentah dan kita enggak dapat apa-apa. Dulu booming minyak, (minyak) mentah kita kirim. Minyak sekarang sudah. Kayu kita kirim, gelondongan, sudah. Dan komoditas-komoditas pertanian, perkebunan. Tidak.

Oleh sebab itu, saya minta Bapak, Ibu, Saudara-saudara sekalian, kalau ada yang namanya industri, entah itu industri nikel, industri batu bara, industri tembaga, industri emas, jaga mereka. Karena nilai tambahnya nanti ada di situ. Ini tugas kita bersama. Kalau sudah setop nikel (tahun) 2020, tahun ini, nanti akan kita setop lagi, setop bauksit. Bauksit harus menjadi alumina. Bauksit setop, tahun depan setop tembaga. Tembaga nanti campur dengan nikel, bisa menjadi litium baterai, bisa menjadi sodium ion, bisa menjadi barang-barang yang setengah jadi maupun barang jadi. Sehingga sekali lagi, nilai tambah itu ada di dalam negeri. Inilah yang kita maksud dengan transformasi ekonomi.

Yang kedua, tadi hilirisasi, yang kedua adalah masuk ke ekonomi hijau. Ke depan, yang namanya produk-produk hijau akan menjadi kekuatan kita. Oleh sebab itu, fondasinya harus mulai dibangun sejak sekarang. Ekonomi hijau itu seperti apa? Ya produk itu dihasilkan juga dari pabrik yang energinya, energi hijau, semuanya adalah ramah lingkungan.

Kita sekarang ini sedang menyiapkan pembangunan green industrial park di Kalimantan Utara. Di situlah nanti pintu gerbang kita untuk membuka yang namanya ekonomi hijau Indonesia yang energinya didapat dari pembangkit listrik tenaga air (hydropower) di Sungai Kayan. Sungai Kayan nanti akan menghasilkan kira-kira 11.000 sampai 12.000 megawatt (MW). Ada wilayah industri disuplai dari energi hijau sehingga produk yang keluar produk hijau. Inilah kekuatan negara kita karena kita mempunyai sungai, 4.400 sungai, (sebanyak) 4.400 sungai kita memiliki. Itu kekuatan. Kita punya geotermal 29.000 (MW), tadi Sungai Kayan itu 11.000 (MW), kemudian (Sungai) Mamberamo itu bisa 23.000 MW. Geotermal 29.000 (MW), ada angin, ada arus bawah laut, ada panas permukaan laut, semuanya bisa masuk ke energi hijau. Ada tenaga surya/matahari. Ini kekuatan negara kita yang negara lain enggak punya.

Oleh sebab itu, fondasinya harus dimulai sesegera mungkin. Dan tugas Bapak, Ibu, Saudara-saudara sekalian menjaga agar fondasi ini betul-betul bisa kita bangun, kita bangun, karena kita tahu, negara lain itu juga enggak senang kita bisa. Ada saja, sudah. Percaya (kepada) saya. Ada saja yang dilakukan karena ya mereka terganggu. Pabrik mereka akan setop karena materialnya enggak kita ekspor. Hati-hati, hati-hati dengan ini. Mengganggunya dengan cara apa? Kita enggak tahu, tetapi enggak mungkin (mereka) diam.

Yang ketiga, digitalisasi, transformasi ini harus juga kita kawal. Yang namanya talent digital, itu harus. Di TNI-Polri juga harus, harus memiliki talent digital karena eranya sudah era seperti ini. Harus punya jago-jago AI (artificial intelligence), cloud computing, digital design, ngerti masalah blockchain, yang ngerti masalah digital marketing, ngerti ya harus ngerti karena nanti keseharian kita akan bergelut dengan itu. Kalau penegak hukum, Polri tidak ngerti hal-hal yang tadi saya sampaikan, gimana? Kejahatan mungkin bergeser, dari yang konvensional ke hal-hal yang berkaitan dengan digital, dan sekarang sudah terjadi.

Jadi sekali lagi, TNI-Polri harus memiliki talent digital, ngerti masalah artificial intelligence, cloud computing, digital design, digital marketing, blockchain, coding, programming. Semuanya harus dimiliki dan dimulai, harus mencari talent-talent digital itu. Karena pertarungan kita ke depan adalah teknologi, teknologi.

Yang kedua, yang berkaitan—supaya kita juga tahu—(dengan) masalah ibu kota baru, IKN (ibu kota negara), IKN Nusantara, kenapa ini dilakukan pemindahan itu? Ini sudah dimulai, gagasan besar itu sejak tahun 1957 oleh Bung Karno. Tetapi, karena ada pergolakan, sehingga direm saat itu oleh Bung Karno. Tahun ’57, sudah mau dipindahkan ke, sudah diputuskan di Palangka Raya. Zaman Pak Harto juga mau dipindah ke Jawa Barat, di Jonggol. Batal juga karena ada pergolakan di (tahun) ‘97-’98. Jadi ini, kajian itu sudah lama sekali. Kalau tidak kita eksekusi kajian-kajian yang ada, ya sampai kapan pun tidak akan terjadi. Memang butuh keberanian. Ada risikonya, ya, ada risiko. Tetapi kita tahu, kita ingin yang namanya pemerataan, bukan Jawa-sentris tapi Indonesia-sentris.

Pemerataan itu seperti apa sih? Kok dinamakan pemerataan? Iya, karena 58 persen PDB (Produk Domestik Bruto) ekonomi, perputaran uang, perputaran ekonomi 58 persen itu ada di (Pulau) Jawa, padahal kita memiliki 17.000 pulau, (sebesar) 58 persen perputaran ekonomi ada di (Pulau) Jawa sehingga magnetnya semuanya ada di (Pulau) Jawa. Orang pengin kerja, lari ke (Pulau) Jawa. Orang pengin, lari ke (Pulau) Jawa, khususnya Jakarta, karena memang magnet ekonomi ada di sini.

Itu yang tadi saya bilang pemerataan, bukan hanya sekadar memindahkan gedung dari Jakarta, bukan itu. Visi besarnya bukan di situ. Kalau magnetnya nanti ada Jakarta, ada Nusantara, magnetnya sudah akan dua, bisa ke sini (Jakarta), bisa ke sini (Nusantara). Artinya, perputaran ekonomi tidak hanya di Pulau Jawa.

Yang kedua populasi, populasi, (sebesar) 56 persen populasi Indonesia itu ada di Pulau Jawa, 56 persen, (sebanyak) 156 juta (penduduk) ada di Pulau Jawa. Ini juga menjadi dasar dari pemindahan ibu kota itu. Oleh sebab itu, agar tidak terjadi ketimpangan ekonomi, tidak terjadi ketimpangan infrastruktur, tidak terjadi ketimpangan jumlah populasi, kemudian kita eksekusi, kita putuskan, yang namanya ibu kota negara yang baru, Nusantara. Dan itu sudah di, secara politik ketatanegaraan, sudah disetujui oleh delapan fraksi dari sembilan fraksi yang ada di DPR.

Untuk membayangkan, karena ibu kota kita ini nanti 70 persen adalah area hijau, 80 persen adalah menggunakan transportasi publik, 80 persen menggunakan energi baru terbarukan, dan ten-minutes city, dari satu tempat ke tempat lain hanya sepuluh menit karena memang dari awal kita konsep sebaik-baiknya. Jadi, yang diberi prioritas adalah, yang hidup di sini nanti, yang diberi prioritas adalah yang pertama, pejalan kaki itu nomor paling atas. Yang kedua, yang naik sepeda, itu yang nomor dua. Yang nomor tiga yang suka naik transportasi umum. Jadi, bukan yang naik mobil pribadi.

Ini saya putarkan sebentar videonya, biar punya bayangan.

(Penayangan video desain Ibu Kota Negara [IKN] Nusantara)

Kita memang harus bermimpi setinggi mungkin untuk mewujudkan ini, sebuah kota yang tidak, sebuah ibu kota yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain.

Yang ketiga, untuk mencapai ini dibutuhkan yang namanya kedisiplinan nasional. Ini yang kita sekarang ini lemah, kedisiplinan nasional. Oleh sebab itu, saya minta kepada jajaran TNI dan Polri untuk bisa memberikan contoh kepada masyarakat (terkait) urusan yang satu ini, kedisiplinan nasional. Tetapi juga, di TNI sendiri juga harus mulai berbenah. Yang namanya disiplin tentara, yang namanya disiplin di kepolisian, itu berbeda dengan masyarakat sipil, sangat beda sekali. Tidak bisa yang namanya tentara, yang namanya polisi, untuk ikut dalam urusan demokrasi. Di tentara itu enggak ada yang namanya demokrasi. Enggak ada yang namanya bawahan itu merasa bebas, tidak sama dengan atasan. Enggak boleh. Berbicara masalah demokrasi, tidak ada yang namanya di tentara, di kepolisian, enggak ada, sehingga ini, hal-hal seperti ini harus mulai dikencangkan lagi supaya masyarakat itu melihat dan bisa kita bawa juga ke arah kedisiplinan nasional.

Ini bukan hanya bapak-bapak atau ibu-ibu yang bekerja tetapi yang di rumah juga sama. Hati-hati, ibu-ibu kita juga sama, kedisiplinannya harus sama. Enggak bisa, menurut saya enggak bisa, ibu-ibu itu memanggil, misalnya ngumpulin ibu-ibu yang lain, memanggil penceramah semaunya atas nama demokrasi. Sekali lagi, di tentara, di polisi, enggak bisa seperti itu, harus dikoordinir oleh kesatuan. Kesatuan harus mengoordinir hal-hal kecil-kecil (yang) tadi saya sampaikan. Makro dan mikronya, ini mikronya harus kita urus juga. Tahu-tahu, mengundang penceramah radikal, nah, hati-hati. Juga hal kecil-kecil, tapi ini harus mulai didisiplinkan. Di WA (WhatsApp) group, saya melihat di WA group, karena di kalangan sendiri, oh boleh, hati-hati. Kalau seperti itu diperbolehkan dan diterus-teruskan, hati-hati. Misalnya berbicara mengenai IKN, “Enggak setuju. IKN apa?” itu sudah diputuskan lo, oleh pemerintah, dan sudah disetujui oleh DPR.

Kalau di dalam disiplin TNI dan Polri, sudah tidak bisa diperdebatkan. Kalau di sipil, silakan, apalagi di WA group dibaca gampang. Saya membaca ini, lo. Hati-hati dengan ini. Dimulai dari hal-hal yang kecil, nanti membesar, dan kita akan kehilangan kedisiplinan di TNI maupun di Polri. Karena disiplin tentara dan disiplin polisi itu berbeda dengan sipil, dan dibatasi oleh yang namanya aturan oleh pimpinan.

Ini perlu saya ingatkan. Di seluruh dunia, yang namanya tentara itu punya yang namanya aturan sendiri, kitab, Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara (Militer) yang intinya, kalau kita lihat inti dari kitab itu, intinya adalah kesetiaan tegak lurus. Saya baca-baca, ini apa sih intinya? Intinya kesetiaan tegak lurus.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.

Saya tutup.

Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.