Penyerahan Program Keluarga Harapan (PKH) Tahap I Tahun 2020

Rabu, 29 Januari 2020
Lapangan Rajawali, Kota CImahi, Jawa Barat

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya.

Yang saya hormati para Menteri yang hadir, Bapak Gubernur, Bapak Wali Kota, serta Pimpinan DPR yang hadir, seluruh jajaran Kementerian Sosial, para pendamping PKH,

Ibu-ibu semuanya, Ibu dan Bapak sekalian para penerima PKH,
Sudah cair belum? Benar? Kapan cairnya? Kemarin sudah cair? Itu baru tahap pertama. Harus kita syukuri, alhamdulillah. Dapat apa-apa itu harus disyukuri. Tapi yang jelas sekarang memang cara pemberiannya dilihat. Yang memiliki anak usia dini dan ibu hamil memang dinaikkan lebih tinggi, dari Rp2,4 juta menjadi Rp3 juta. Tapi juga jangan…(audio tidak terdengar) tahu ya? Enggak usah disebut sudah tahu kan? Ya sudah, berarti enggak usah saya pesan.

Yang paling penting dalam posisi kondisi ibu hamil, anak kita yang berada di kandungan ini jangan lupa gizinya, satu. Kalau kita punya anak usia balita juga jangan sampai lupa gizinya ya, yang penting itu. Kalau punya anak balita, kalau ada telur diberikan kepada anaknya terlebih dahulu, jangan bapaknya, ya. Kalau ada ikan, ikan ini proteinnya juga tinggi diberikan kepada anak balita kita terlebih dahulu, anak kita terlebih dahulu.  Jangan kepada bapaknya. Sudah tahu semuanya? Sudah.

Ini urusan gizi jangan dilupakan karena kalau anak-anak kita ini gizinya baik dia pasti akan sehat. Kalau anaknya sehat sekolahnya pasti juga pintar. Kalau anaknya sudah enggak sehat, gizinya kurang, kena stunting. Stunting tahu ya, kerdil, nah itu sulit kita meningkatkan pendidikan pada anak-anak kita. Padahal kita harus tahu semuanya bahwa dunia sekarang ini penuh dengan persaingan. Di sekolah bersaing pinter-pinteran, nanti kalau bekerja bersaing pinter-pinteran juga. Oleh sebab itu, anak ini harus dijaga gizinya. Kalau anak gizinya baik, anak kita sehat, membuat pintar itu lebih mudah, sekolah, sekolah terus.

Saya dulu, ini saya cerita sewaktu (saya )kecil aja. Rumah saya dulu di pinggir sungai di kawasan yang kumuh. Kalau punya telur satu, anaknya empat, saya dapat kecil. Sekarang telur kan juga murah. Telur satu berapa sih sekarang? Rp2.000. Ibu dapat PKH berapa? Kalau tidak bisa memberi telur pada anak-anak kita kebangetan, (sudah) diberi PKH. Tapi ya jangan telur terus. Bisa ikan, iya kan, bisa daging, iya kan, bisa sayur, bisa buah. Itu sudah jadi gizi yang baik bagi anak-anak kita.

Oke, urusan gizi rampung, sekarang sehat. Anak kita jangan juga lupa imunisasi. Hati-hati. Penting banget imunisasi, entah imunisasi polio dan yang lain-lainnya. Karena kalau sudah sakit itu sudah, aduh kasihan anak-anak kita. Kalau sudah sehat, sekarang disekolahkan. Disekolahkan sekarang dengan PKH dibolehkan enggak untuk bayar sekolah? Boleh, uang PKH untuk bayar sekolah boleh? Nah, untuk beli buku boleh? Untuk beli tas sekolah boleh? Topi, sepatu sekolah boleh? Untuk beli pulsa boleh? Mana tadi yang ngomong boleh tadi? Tidak boleh untuk beli pulsa. Hati-hati, PKH tidak boleh untuk beli pulsa.

Kalau anak-anak kita sudah sekolah, sekolah, sekolah, sekolah, maka bilamana kita yang memiliki keinginan usaha silakan untuk berusaha. Saya tahu ada yang jualan misalnya bakso, enggak apa-apa, jualan nasi liwet, silakan, yang paling penting menambah penghasilan keluarga, dari situ ada keuntungan. Jualan baju silakan, jual kaos silakan, tadi saya lihat di depan bagus sekali.

Kalau Ibu-ibu semuanya sudah berusaha memakai dari PKH sebagai, misalnya menggunakan modal dulu Rp500 (ribu) dari PKH, dicoba berhasil, berhasil, berhasil, “Wah, kok modal saya kurang,” nah ini, kita akan larikan ke KUR (Kredit Usaha Rakyat), atau nanti akan saya dampingi dengan yang namanya Mekaar atau UMi. Kredit UMi itu kredit usaha mikro. Mekaar juga sama dari PNM, tapi dalam bentuk kelompok-kelompok. Jadi Pak Dirjen, ini agar keluarga besar PKH ini kelompok-kelompoknya jelas sehingga kalau ada bibit-bibit usahawan di sini enggak apa-apa, nanti bisa kita suntik dari UMi maupun dari Mekaar maupun dari KUR. Kalau untuk urusan modal Rp1 juta, Rp2 juta, Rp3 juta bisa ngambil UMi atau dari Mekaar, tapi kalau sudah menginjak kayak tadi, ini Rp25 juta, Rp20 juta nanti masuknya ke KUR. Sehingga kita bisa meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan keluarga kita.

Ini yang sudah cair, yang sudah ngambil tunjuk jari! Yang cair yang sudah ngambil, yang ngambilnya lebih dari Rp500 (ribu) tunjuk jari! Tadi di sana ada yang ngambil Rp700 (ribu), ada yang ngambil Rp500 (ribu). Rp700 (ribu) ada? Coba maju yang Rp700 (ribu) sini! Ya, maju. Itu yang pakai ungu, kok duduk lagi? Yang belum ngambil tunjuk jari! Yang belum ngambil, yang belum ngambil, yang belum ngambil. Ya maju, itu. Yang pengin ngambil? Ya, paling belakang, belakang, belakang itu. Belakang sana, belakang. Ya, yang belakang, ya belakang itu. Yang belakang. Maju Bu, sini, sini. Sini Bu.

Ada yang sudah ngambil, ada yang belum ngambil, ada yang pengin ngambil. Kalau ada yang belum cair tolong ditanyakan kepada pendamping PKH, para pendamping anda akan ngurus.

Silakan kenalkan Bu.

Ibu Sukaesih:
Nama saya Sukaesih, dari Cibeureum.

Presiden RI:
Ibu Sukaesih dari Cibeureum. Itu kabupaten mana ya?

Ibu Sukaesih:
Cimahi.

Presiden RI:
Cimahi, Kota Cimahi. Bu siapa?

Ibu Sukaesih:
Sukaesih.

Presiden RI:
Bu Sukaesih. Panggilannya Bu? Bu Sukaesih juga, ya sudah Bu Sukaesih.

Ibu Sukaesih:
Bu Esih, Pak.

Presiden RI:
Bu Esih. Nah gitu pendek, yang pendek, gampang diingat. Bu Esih. Bu Esih sudah ngambil berapa?

Ibu Sukaesih:
Belum Pak.

Presiden RI:
Oh, belum.

Ibu Sukaesih:
Iya.

Presiden RI:
Mau ngambil?

Ibu Sukaesih:
Iya, rencananya pulang dari sini ambil.

Presiden RI:
Itu kan masih buka. Dari sini mau ngambil? Mau ngambil berapa?

Ibu Sukaesih:
Ketemu Bapak dulu

Presiden RI:
Ngambil berapa? Mau ngambil berapa?

Ibu Sukaesih:
Rp1 juta.

Presiden RI:
Rp1 juta?

Ibu Sukaesih:
Iya. Boleh kan Pak?

Presiden RI:
Boleh. Rp1 juta, oke, enggak apa-apa. Ambil Rp1 juta. Mau dipakai apa?

Ibu Sukaesih:
Buat beli tas sama sepatu anak sekolah, Pak.

Presiden RI:
Tasnya harganya berapa?

Ibu Sukaesih:
Enggak tahu.

Presiden RI:
Sepatunya harga berapa?

Ibu Sukaesih:
Kurang tahu, Pak.

Presiden RI:
Enggak tahu. Nah gini….

Ibu Sukaesih:
Biasanya anak saya beli sendiri.

Presiden RI:
Nah, saya beritahukan. Kalau ingin mengambil uang, ambil Rp1 juta, di sini sudah ada perencanaan mau dipakai apa. Oh, lihat dulu tas, tas harganya Rp200 ribu. Sepatu, cek, “Oh sepatunya Rp300 ribu, berarti Rp500 ribu cukup,” Tidak ngambil Rp1 juta.

Ibu Sukaesih:
Anak saya 3 Pak.

Presiden RI:
Iya tahu, anaknya 3 tahu. Karena apa? Kalau ngambil Rp1 juta padahal harga sepatu sama harga tasnya hanya Rp500 (ribu), terus yang Rp500 (ribu) untuk apa ya? Gitu. Jalan-jalan ke mal, nah tengok sana-tengok sini kok, “Waduh, ini ada lipstik,” mulai ke sana, ya.

Jadi saya hanya titip, titip kalau akan mengambil berapa itu sudah ada perencanaan di sini. “Oh, saya pakai untuk 2 anak saya beli sepatu 2, beli tasnya 2.” Anaknya 3, beli sepatu 3, beli tasnya 3. Oh, harganya Rp50 ribu berarti kali… Nah gitu. “Oh, berarti saya ngambilnya hanya Rp450 (ribu), tidak usah ngambil Rp1 juta. Sisanya tabung biar enggak hilang, mengendap di sini. Iya kan? Nah gitu. Jadi ngambil Rp1 juta untuk beli?

Ibu Sukaesih:
Sepatu sama tas.

Presiden RI:
Sepatu sama tas, bisa ini pasti.

Ibu Sukaesih:
Buat beli telur, Pak.

Presiden RI:
Nah, bagus kalau belinya telur. Kalau beli ini, ini, nah itu hati-hati ya, hati-hati. PKH itu boleh beli tas sekolah boleh, beli sepatu sekolah boleh, beli telur boleh, beli ikan boleh, boleh. Itu boleh, misalnya itu boleh karena ini menyangkut gizi anak. Boleh, ya sudah.

Berarti 1 juta beli apa tadi? Tas, beli sepatu, beli telur, sudah? Masih sisa, sisa, sisa. Saya setiap hari ke pasar kok, bisa hitung-hitungan. Tas itu harga berapa, sepatu itu harga berapa, tahu.

Ibu Sukaesih:
Kali 3, Pak.

Presiden RI:
Kali 3, oh kali 3, ya kali tiga saya hitung Rp450 (ribu). Iya, oke, Bu Esih sudah.

Silakan Bu kenalin!

Ibu Nindyaningsih:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Presiden RI:
Wa’alaikumsalam.

Ibu Nindyaningsih:
Nama saya Nindyaningsih dari Cimahi, nama panggilan saya Ibu Elin.

Presiden RI:
Bu?

Ibu Nindyaningsih:
Elin.

Presiden RI:
Bu Elin, panjangnya Ibu siapa?

Ibu Nindyaningsih:
Ibu Nindyaningsih. Nindyaningsih.

Presiden RI:
Nindyaningsih, panggilnya Bu?

Ibu Nindyaningsih:
Elin.

Presiden RI:
Elin. Ibu sudah ngambil?

Ibu Nindyaningsih:
Belum, Pak.

Presiden RI:
Belum. Mau ngambil?

Ibu Nindyaningsih:
Iya.

Presiden RI:
Mau ngambil. Mau ngambil berapa?

Ibu Nindyaningsih:
Rp700 (ribu).

Presiden RI:
Waduh, PKH ini kaya-kaya banget, ngambil Rp1 juta, ngambil Rp700 (ribu). Oke, enggak apa-apa, enggak apa-apa. Untuk apa?

Ibu Nindyaningsih:
Untuk beli seragam anak sekolah, Pak.

Presiden RI:
Beli seragam anak sekolah hanya berapa?

Ibu Nindyaningsih:
Dua anaknya Pak, sama sepatunya sudah rusak.

Presiden RI:
Sama sepatunya, seragam sama sepatu. Harga seragam berapa?

Ibu Nindyaningsih:
Rp150 (ribu).

Presiden RI:
Rp150 (ribu), mahal. Rp150 (ribu) oke, Rp150 (ribu). Sepatu?

Ibu Nindyaningsih:
Sepatunya yang Rp100 (ribu), Pak.

Presiden RI:
Berapa?

Ibu Nindyaningsih:
Rp100 (ribu)

Presiden RI:
Rp100 (ribu), berarti Rp250 (ribu), terus sisanya?

Presiden RI:
Kan ada dua anaknya.

Presiden RI:
Anak 2, berarti baru Rp500 (ribu).

Ibu Nindyaningsih:
Ya.

Presiden RI:
Yang 200 (ribu)? Saya urus terus. Pendamping harus ngurus kayak gini lo ya. Yang Rp200 (ribu)?

Ibu Nindyaningsih:
Buat kepentingan ini Pak, buat kepentingan ekonomi dapur, Pak.

Presiden RI:
Buat kepentingan ekonomi dapur. Apa itu yang namanya ekonomi dapur?

Ibu Nindyaningsih:
Ya itu buat sembako, Pak.

Presiden RI:
Hati-hati, untuk gizi anak. Tolong didahulukan, diberikan prioritas untuk gizi anak. Tadi saya sudah, saya pesan ikan, telur, daging, dan lain-lainnya lah. Ibu-ibu lebih tahu dari saya. Terus nanti kalau ini Rp700 (ribu) ambil, terus berikutnya mau dipakai apa?

Ibu Nindyaningsih:
Buat disimpan, Pak.

Presiden RI:
Disimpan, oke. Ya, sudah.

Silakan, Bu.

Ibu Rohaeni:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Presiden RI:
Wa’alaikumsalam.

Ibu Rohaeni:
Nama saya O’on Rohaeni dari Cibodas, Cimahi Selatan.

Presiden RI:
Cimahi Selatan. Ibu siapa panggilan?

Ibu Rohaeni:
O’on. O’on

Presiden RI:
Bu O’on, ya oke. Bu Roha… siapa tadi?

Ibu Rohaeni:
Ibu Rohaeni, O’on Rohaeni.

Presiden RI:
Rohaeni, Rohaeni, panggilannya Bu O’on. Oke. Ibu pengin ngambil kan tadi? Pengin ngambil. Belum ngambil?

Ibu Rohaeni:
Belum.

Presiden RI:
Belum ngambil. Mau ngambil?

Ibu Rohaeni:
Mau, mau.

Presiden RI:
Ngambil berapa?

Ibu Rohaeni:
Rp1 juta.

Presiden RI:
Rp1 juta. Wah ini ngambilnya duit gede semua ini. Saya enggak pernah lo ngantongin Rp1 juta itu, enggak pernah.

Ibu Rohaeni:
Buat anak sekolah, Pak.

Presiden RI:
Buat anak sekolah.

Ibu Rohaeni:
Yang kelas 3 SMP sekarang ujian akhir.

Presiden RI:
Kelas 3 SMP sekarang ujian akhir. Terus?

Ibu Rohaeni:
Pembiayaannya Rp800 ribu.

Presiden RI:
Pembiayaannya Rp800 ribu. Terus?

Ibu Rohaeni:
Per bulannya Rp40 ribu, yang SMP 2 orang.

Presiden RI:
Per bulannya Rp40 ribu, yang SMP 2 orang. Terus?

Ibu Rohaeni:
Belum punya baju batik sama olahraga.

Presiden RI:
Belum punya baju batik sama olahraga. Kurang dong Rp1 juta?

Ibu Rohaeni:
Makanya, Pak. Gimana harus ada tambahan.

Presiden RI:
Ada yang sisa, ada yang kurang. Oke berarti Rp1 juta nanti untuk dipakai itu tadi ya, bayar sekolah, iya kan?

Ibu Rohaeni:
Iya.

Presiden RI:
Kemudian untuk beli baju anak.

Ibu Rohaeni:
Iya.

Presiden RI:
Iya.

Ibu Rohaeni:
Anak yang SMP belum punya baju batik sama olahraga, yang SD belum punya (baju) olahraga. Yang SD 1, kelas 1, yang 2 SMP kelas 1 sama kelas 1.

Presiden RI:
Banyak banget ini. Sebentar… Jadi totalnya berapa? Sudah dihitung berapa itu semua kebutuhan itu?

Ibu Rohaeni:
Ya lebih dari Rp1 juta

Presiden RI:
Berapa?

Ibu Rohaeni:
Lebih dari Rp1 juta.

Presiden RI:
Iya, berapa lebih dari Rp1 juta itu?

Ibu Rohaeni:
Belum dihitung, Pak.

Presiden RI:
Belum dihitung. Oke, belum dihitung, ya sudah.

Ini ya, yang namanya bekerja itu harus cepat. Tadi baru, di sini kan baru 5 menit, ini fotonya sudah jadi, ini. Ini Ibu, diterima. Ini fotonya mahal. Kenapa mahal? Saya tunjukkan, karena di belakangnya ini ada tulisan, ini yang mahal ini yang di belakangnya ini. Enggak percaya silakan kalau berani jual ini. Ini mahal banget. Di belakangnya ada tulisan Istana Presiden Republik Indonesia. Yang mahal itu. Kalau foto di mana-mana foto bisa. Ini, Bu. Ya sudah, terima kasih, terima kasih. Dan saya tambahi sepeda, ya. Jangan langsung pulang, kok mau langsung pulang. Ya, ya, sudah.

Ya, saya rasa itu titipan dan pesan yang saya sampaikan kepada Ibu-ibu penerima PKH. Kita berharap Ibu-ibu ini secepatnya bisa…, tadi Pak Mensos menyampaikan graduasi tadi, itu berarti Ibu-ibu bisa secepatnya lulus, lulus dari PKH, ada yang berusaha kayak di depan ini semuanya. Usaha, mandiri, sudah. Enggak butuh PKH lagi, yang kita butuhkan itu.

Jangan senang dapat PKH terus-menerus. Harus PKH ini dijadikan sebagai awal membuat fondasi. Kalau sudah siap, PKH lepas kemudian bisa mandiri dengan baik, dengan itu yang kita harapkan dari pemerintah. Sehingga tadi disampaikan Pak Mensos, tahun kemarin itu yang lulus ada 1,3 juta (penerima PKH) Pak ya? Satu koma tiga juta yang lulus dari 15 juta yang seluruh anggota PKH yang ada di Tanah Air. Lima belas juta yang lulus 1,3. Kita harapkan tahun ini ada yang lulus lagi, tahun depan ada yang lulus lagi, kita harapkan itu. Sehingga nanti semakin mengecil, semakin mengecil, dan suatu saat kita semuanya sudah pada posisi sejahtera dan makmur semuanya, insyaallah ya.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan.
Terima kasih. Saya tutup.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.