Penyerahan Sertifikat Tanah Untuk Rakyat
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum Warahmatulah Wabarakatuh,
Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya.
Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja,
Yang saya hormati Gubernur Jawa Tengah beserta Ibu, Bapak Bupati Purworejo beserta Ibu, seluruh Forkompimda Provinsi Jawa Tengah, Pak Pangdam, Pak Kapolda, Pak Kajati, Pak Ketua DPRD,
Bapak/Ibu sekalian seluruh penerima sertifikat yang pagi hari ini sudah menerima sertifikatnya.
Benar? Sampun? Bisa diangkat? Ini yang di dalam sama yang di luar jumlahnya 3.800. Jangan diturunkan dulu mau saya hitung. Baru dipegang sebentar saja mau turun. Iya dari sana, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31,…, 3.800 betul. Plus yang di luar itu 3.800.
Supaya Bapak/Ibu sekalian tahu, di seluruh Tanah Air kita Indonesia harusnya ada 126 juta sertifikat yang harus dipegang masyarakat, 126 juta sertifikat. 2015 yang selesai baru 46 juta sertifikat. Artinya apa? Masih 80 juta, di 2015 80 juta sertifikat. Termasuk Bapak-Ibu sekalian, yang 2015 belum dapat, 80 juta. Tadi di Jawa Tengah 20 juta, betul Pak? 20 juta sertifikat yang harusnya dipegang, yang selesai baru 12 juta sampai saat ini, masih kurang 8 juta lebih. Jadi Bapak/Ibu semuanya matur nuwun, ini sudah selesai, alhamdulillah pegang sertifikat.
Kalau sudah pegang ini enak. Karena apa? Setiap saya ke kampung, ke desa, ke daerah isinya yang namanya sengketa tanah itu dimana-mana. Sengketa lahan, konflik tanah di mana-mana. Enggak di Sumatra, di Jawa, di Kalimantan, di Sulawesi, di Papua, di NTB, NTT, di Bali, semuanya. Karena apa? Masih 80 juta yang belum selesai. Jadi yang sudah pegang ini, alhamdulillah.
Bapak/Ibu sudah pegang semuanya kan? Nah, alhamdulillah kita harus bersyukur. Karena kalau sudah pegang yang namanya sertifikat, ini adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Panjenengan sampun ngasto sertifikat niki nggih, ini adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Ini nanti kalau ada, ujug-ujug nggih ada orang datang, “Niki tanah kulo!” “Heh mboten, niki siti kulo. Buktine niki.” Enten buktine. Panjenengan bade teng pengadilan wantun, enten buktine. Nggih mboten? Buka di sini, ada di sini namanya ada, letaknya di desa mana ada, luasnya berapa di bawah ada semuanya, sudah. Enggak bisa yang namanya diutak-atik malih karena sertifikat meniko adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki.
Dulu, satu tahun itu produksi sertifikat di seluruh Indonesia itu 500 ribu, 600 ribu per tahun. Tahun ini 9 juta. Coba sudah berapa kali? Hampir 14 kali lipat dari sebelumnya. Supaya apa? Masyarakat segera pegang sertifikat, sertifikat, sertifikat. BPN ya kerjanya ya pagi, siang, malam pontang-panting. Ya itu memang harus, karena memang pelayanan pada masyarakat sekarang ini harus cepat. Setuju mboten? Sinten sing mboten setuju ngacung? Saya beri sepeda. Ngacung yang mboten setuju sing cepet niku? Ngacung, sini saya beri sepeda kalau ada yang berani ngacung. Nggih mboten? Harus cepat, harus cepat.
Jadi target kita di 2025 nanti sertifikat seluruh Indonesia itu harus selesai. Caranya gimana? Itu urusannya Menteri ATR/Kepala BPN, harus rampung. Kalau kerja dengan saya ya seperti itu, ada targetnya. Sudah jadi menteri enggak ditarget enak banget nggih. Nggih mboten? Rakyat ngenteni, ngenteni, nunggoni iki. Saya tahu karena setiap saya ke desa, saya ke kampung, ini jadi masalah di mana-mana, sengketa antara tetangga dengan tetangga, kita dengan masyarakat, rakyat dengan pemerintah, rakyat dengan perusahaan, banyak sekali. Saya ditangisi itu, ditangisi orang sudah ratusan ribuan, sudah, urusan tanah. Ya tapi enggak bisa membantu kita karena tanda bukti hak hukumnya memang harus jelas. Sudah, sekarang sudah pegang sertifikat semuanya.
Sudah diplastik semuanya nggih? Sampun? Ini supaya kalau gentingnya bocor niku sertifikatnya mboten rusak. Setuju mboten?
Kalau sudah pegang sertifikat sampai di rumah tolong difotokopi. Nanti kalau aslinya hilang, tasih enten fotokopine, ngurus teng BPN gampil. Setuju? Yang asli taruh di lemari satu, yang fotokopi taruh di lemari dua. Jangan dibarengkan, hilang, hilang bareng mangke nggih. Ini kalau hilang fotokopi masih ada asli, kalau hilang asli masih ada fotokopi. Nggih.
Sekarang yang ketiga, biasanya kalau sudah pegang sertifikat penginnya disekolahkan. Nggih mboten? Mboten nopo-nopo. Tadi Pak Gub kan juga sudah menyampaikan, tidak apa-apa. Sertifikat ini disekolahkan enggak apa-apa. Tadi terbukti di Jawa tengah melompat berapa triliun tadi? Kita bisa melihat, “Oh, berarti sertifikat ini dipakai oleh masyarakat untuk akses ke modal, akses ke uang, untuk mendapatkan modal.” Enggak apa-apa, mboten nopo-nopo.
Tapi kalau mau pinjam ke bank itu ya pakai kalkulasi, mau pinjam ke bank itu juga harus pakai hitungan. Bukan hanya pinjam kemudian dipakai untuk beli TV, pinjam dipakai untuk beli sepeda motor, pinjam dipakai untuk beli mobil. Hilang sertifikat mangke pun kalau dipakai untuk yang tidak produktif. Bisa dipakai untuk agunan, bisa dipakai untuk jaminan tapi tolong cek dulu, kalau mau buat pinjam ke bank, dibanding-bandingkan. Cari yang bunganya murah, BRI pinten, BPD Jateng pinten, BNI pinten, Bank Mandiri pinten, tanya. “Oh sing murah dewe BRI,” ya sudah ke BRI, ngoten.
Setelah itu dihitung dulu. Sertifikat pergi ke Bank, itu sudah harus punya hitung-hitungan saya mau pinjam berapa, mau saya pakai untuk apa, nanti mengangsurnya bisa tidak, menyicilnya bisa tidak. Jangan sekarang pegang sertifikat besok pagi langsung ke bank, tuk, tuk, tuk, langsung pinjam Rp300 juta. Wah dapat Rp300 juta, wong sertifikatnya luasnya gede, dapat Rp300 juta. Pulang, nah ini mulai. Kalau apa-apa tanpa perencanaan, mboten enten rancangane, pulang bawa Rp300 juta, malam-malam ngimpi-ngimpi, “dienggo opo iki.” Nah sesuk ke dealer, beli mobil tapi tidak kontan bayarnya, diberi uang muka Rp100 juta. Mulih pun, gagah menyetir mobil. Ini dimulai petaka di situ. Satu bulan selamat, 2 bulan selamat iso nyicil bank, iso nyicil dealer. Begitu masuk ke bulan ke 6 maeng titeni, pun, sudah mulai, bank enggak bisa menyicil, nggih to, mobil enggak bisa menyicil. Nggih niku, gagahe muter-muter kampung mung 6 wulan tok. Mubeng-mubeng gagah 6 wulan tok. Pun, pidados kulo. Sertifikate ical nggih, diambil sama bank dong, mobile juga ditarik sama dealer. Hilang semuanya, gagahe mung 6 wulan.
Siapa yang mau pinjam ke bank? Dipakai agunan ke bank? Silakan tunjuk jari! Mboten sah… enggak usah malu-malu. Enggak apa-apa, itu halal. Itu mboten nopo-nopo, wong dipakai untuk hal yang produktif, untuk kesejahteraan, mboten nopo-nopo. Pinjam Rp10 juta boleh, Rp25 juta boleh, disesuaikan dengan perencanaan kita mau dipakai apa, disesuaikan dengan lahan yang kita miliki. Ada ndak yang mau pinjam ke bank? Silakan tunjuk jari! Oh ada, nggih. Ada satu. Di sana kok enggak ada yang tunjuk jari to? Yang di atas? Ada. Nah, banyak gitu kok.
Yang tidak dipakai untuk pinjam bank tunjuk jari! Yang tidak dipakai, tidak dipakai untuk ke bank siapa? Sinten? Enggak dipakai? Mboten? Ibu mboten? Mboten? Ibu? Mboten. Disimpan di rumah? Nggih. Enggak apa-apa, boleh-boleh saja.
Sekarang kembali lagi, siapa yang dipakai untuk pinjam bank tunjuk jari! Nah ini mulai banyak ini, enggak malu ini, sudah mulai. Mboten nopo-nopo. Siapa yang mau pinjam ke bank? Ya, ada? Di sini ada? Nggih, Ibu cobi maju sini.
Yang tidak dipakai untuk pinjam ke bank? Yang tidak, siapa? Ibu? Bapak? Siapa lagi? Siapa yang tidak? Nggih cobi Bapak yang pakai putih, peci putih nggih ke depan. Sini, sini, monggo.
Nggih, Ibu dikenalkan dulu namanya.
Tri Nurul Hayati:
Assalamualaikum warahmatulah wabarakatuh.
Presiden RI:
Waalaikumsalam warahmatulah wabarakatuh.
Tri Nurul Hayati:
Nama saya Ibu Tri Nurul Hayati.
Presiden RI:
Ibu Tri Nurul Hayati.
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Saking pundi?
Tri Nurul Hayati:
Saya dari Desa Wingko Tinumpuk RT2/RW3, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo.
Presiden RI:
Sebentar-sebentar, jangan cepat-cepat. Desa?
Tri Nurul Hayati:
Desa Wingko Tinumpuk.
Presiden RI:
Wingko?
Tri Nurul Hayati:
Tinumpuk.
Presiden RI:
Wingko Tinum…
Tri Nurul Hayati:
Tinumpuk.
Presiden RI:
Tinumpuk?
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Wingko Tinumpuk.
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Desa Wingko Tinumpuk. Kecamatan?
Tri Nurul Hayati:
Ngombol Pak.
Presiden RI:
Ngombol?
Tri Nurul Hayati:
Nggih.
Presiden RI:
Nggih. Tebih teng mriki?
Tri Nurul Hayati:
Nggih, 30 menit kirang langkung.
Presiden RI:
Nopo niku, 30 menit niku jalan kaki, naik sepeda, atau naik sepeda motor, atau naik mobil?
Tri Nurul Hayati:
Naik sepeda motor, Pak.
Presiden RI:
Naik sepeda motor tiga puluh menit.
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Nggih, nggih, nggih. Sekarang Bu Tri tadi…
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Sertifikatnya berapa meter persegi?
Tri Nurul Hayati:
513 meter persegi.
Presiden RI:
513 meter persegi. Wah wiyar niku nggih, wiyar nggih, luas. Mau dipakai pinjam ke bank, dipakai agunan ke bank.
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Banknya sudah tahu mau ke bank mana?
Tri Nurul Hayati:
Iya karena saya dekat dengan Bank BRI, depan rumah saya, saya mau ke Bank BRI.
Presiden RI:
Nggih, mau ke Bank BRI.
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Nggih. Mau pinjam berapa?
Tri Nurul Hayati:
Ya, buat tambahan modal, Pak.
Presiden RI:
Nggih, ngertos. Pinten? Saya mau tanya.
Tri Nurul Hayati:
Kurang lebih Rp50 (juta) Pak. Kira-kira cukup enggak kalau seluas tanah saya segitu?
Presiden RI:
Rp50 juta? Mau pinjam…
Tri Nurul Hayati:
Iya, Rp50 juta.
Presiden RI:
Mau pinjam Rp50 juta.
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Nggih. Sekarang Rp50 juta, berarti mau ke BRI, “Pak, pinjam Rp50 juta,” nggih. Sudah. Pertanyaannya, mau Rp50 juta itu mau dipakai untuk apa?
Tri Nurul Hayati:
Kebetulan suami saya…
Presiden RI:
Kedah enten perencanaan lo nggih. Rp50 juta untuk apa saja?
Tri Nurul Hayati:
Kebetulan suami saya itu dagang sepatu, Pak.
Presiden RI:
Dagang sepatu.
Tri Nurul Hayati:
Iya, dari kantor ke kantor.
Presiden RI:
Dagang sepatu dari kantor ke kantor?
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Nggih. Tapi kok… Masa sepatu sampai Rp50 juta itu diengge menopo? Dapat berapa truk itu coba? Sepatu saya ini Rp400 ribu.
Tri Nurul Hayati:
Kali Pak…
Presiden RI:
Masa bawa sepatu ke kantor sampai Rp50 juta? Nggih?
Tri Nurul Hayati:
Setidaknya saya kan butuh kendaraan untuk membawa sepatu itu, Pak.
Presiden RI:
Nah ini, urusan kendaraan. Boleh, boleh asal kendaraan itu produktif, jangan untuk kenikmatan. Kalau untuk mempercepat mobilitas usaha, bisa. Tapi kalau dinikmati, ini yang berbahaya. Hati-hati, itu saja. Nggih. Jadi Rp50 juta tadi dipakai apa saja? Untuk tambahan modal sepatu berapa?
Tri Nurul Hayati:
Ya kurang lebih kalau misalkan buat sepatu ya Rp20 (juta)-an, kalau mobilnya sih tidak perlu terlalu cakep Pak, yang penting untuk bawa ke…
Presiden RI:
Sebentar, Rp50 juta dipakai untuk modalnya untuk beli sepatu Rp20 juta.
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Terus masih Rp30 juta untuk apa?
Tri Nurul Hayati:
Rp30 (juta)-nya untuk beli kendaraan yang istilahnya tidak terlalu tua, tidak terlalu muda.
Presiden RI:
Rp30 juta untuk beli mobil itu untuk muter niku dari kantor ke kantor?
Tri Nurul Hayati:
Iya.
Presiden RI:
Oh, nggih, ini berarti ada perencanaan. Terus sudah dihitung menyicilnya bisa? Mengangsurnya bisa sudah dihitung?
Tri Nurul Hayati:
Ya, insyaallah Pak berusaha, semangat.
Presiden RI:
Dihitung lo nggih. “Oh saya jualan sepatu itu sebulan dapat income sekian, berarti keuntungan sekian, oh bisa untuk menyicil. Kedah dihitung, mboten dihitung nanti berbahaya. Tapi mobilnya, sekali lagi beli mobil tapi ini produktif supaya mobilitasnya tinggi, bukan untuk dipakai untuk muter-muter kampung, pamer, mboten. Oke nggih, sampun.
Sekarang, Pancasila.
Tri Nurul Hayati:
Pancasila.
Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Presiden RI:
Dua.
Tri Nurul Hayati:
Dua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Tiga, Persatuan Indonesia.
Empat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Lima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Presiden RI:
Oke, nggih pun. Sepeda. Sudah mriki, gantian.
Margomi:
Assalamualaikum warahmatulah wabarakatuh.
Presiden RI:
Waalaikumsalam warahmatulah wabarakatuh. Nama Pak?
Margomi:
Nama saya Margomi.
Presiden RI:
Pak Mar?
Margomi:
Pak Margomi.
Presiden RI:
Pak Marhomi.
Margomi:
Gomi.
Presiden RI:
Pak Marhomi?
Margomi:
Iya.
Presiden RI:
Pak Marhomi, saking pundi?
Margomi:
Saking Desa Ketug, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo.
Presiden RI:
Kecamatan Butuh?
Margomi:
Iya.
Presiden RI:
Nggih, dari Kecamatan Butuh, desanya Ketug?
Margomi:
Ketug.
Presiden RI:
Desa Ketug, Kecamatan Butuh, nggih. Teng mriki pinten menit nggih, Pak, nggih?
Margomi:
Nggih, kadosipun menawi ngangge motor nganten setunggal jam.
Presiden RI:
Motor setunggal jam, nggih. Nggih. Itu katanya setengah? Kalih muter-muter nggih mboten menopo setunggal jam. Iya, setunggal jam. Sekarang Bapak, Pak Marhomi ini enggak mau dipakai ke bank? Mboten.
Margomi:
Mboten.
Presiden RI:
Terus dipakai untuk apa? Disimpan?
Margomi:
Disimpan nanti untuk anak saja karena sampun sepuh.
Presiden RI:
Oh, nggih. Berarti disimpan, nanti diwariskan ke…
Margomi:
Anak.
Presiden RI:
Putro. Oh, nggih. Enggak apa-apa. Sudah menjadi haknya Pak Marhomi. Luas berapa Pak? Luas ini berapa?
Margomi:
687.
Presiden RI:
687, nggih. 687. Pak, oh Pak Margomi, saya tadi Marhomi. Margomi, Pak Margomi, tanahnya di Desa Ketug.
Margomi:
Nggih.
Presiden RI:
Nggih. Luasnya 687, nggih leres. Tidak dipakai untuk agunan ke bank, akan diwariskan ke putro, nggih pun.
Monggo, Pancasila.
Margomi:
Kesupen, nggih.
Presiden RI:
Kesupen, mboten nopo-nopo. Nanti saya bimbing lah, pun.
Margomi:
Pancasila.
Presiden RI:
Satu.
Margomi:
Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Presiden RI:
Dua.
Margomi:
Dua, Permanusiaan yang…
Presiden RI:
Sebentar. Dua, Kemanusiaan…
Margomi:
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Presiden RI:
Tiga, Persatuan…
Margomi:
Tiga, Persatuan Indonesia.
Presiden RI:
Empat,
Margomi:
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dan Permusyawaratan…
Presiden RI:
Perwakilan.
Margomi:
Perwakilan Permusyawaratan.
Presiden RI:
Sebentar, sebentar. Sini Pak, mriki-mriki. Empat,
Margomi:
Empat,
Presiden RI:
Kerakyatan yang Dipimpin, diulang Kerakyatan yang Dipimpin..
Margomi:
Kerakyatan yang Dipimpin…
Presiden RI:
Oleh Hikmat Kebijaksaan…
Margomi:
Oleh Hikmat Kebijaksanaan…
Presiden RI:
Dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Margomi:
Dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Presiden RI:
Nggih. Lima,
Margomi:
Lima,
Presiden RI:
Keadilan…
Margomi:
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia.
Presiden RI:
Nah, kurang. Diulang lagi. Lima, Keadilan Sosial…
Margomi:
Lima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Presiden RI:
Nggih. Panjenengan nggih, panjenengan mung lenggah mriku Pancasila gampil, begitu naik panggung ke sini di dekat saya hilang semua sini. Jangan dipikir mudah. Kalau sudah di dekat saya bisa hilang. Tadi ‘Keadilan Sosial Bagi Indonesia’, ‘Seluruh’-nya hilang gitu lo.
Margomi:
Soalnya sudah kembali idiot.
Presiden RI:
Nggih, monggo, matur nuwun. Sudah diambil sepedanya. Terima kasih. Silakan kembali.
Oh, ini masih ada bonus lagi, sudah dapat sepeda masih diberi bonus. Nggih, ini fotonya. Ini foto. Baru di sini 5 menit fotonya sudah jadi. Ini yang namanya kerja cepat ya ini. Sekarang kita harus membudayakan kerja cepat. Semua, baik di provinsi, di kabupaten, di kota semuanya harus kerja cepat karena masyarakat menunggu pelayanan dari seluruh aparat pemerintah. Setuju mboten?
Ini juga sama tadi Bu Tri, baru di sini belum ada 5 menit foto sudah jadi dalam album, nggih. Monggo Bu. Aduh, dapat sepeda, dapat foto.
Tri Nurul Hayati:
Pak bisa mohon izin, Pak?
Presiden RI:
Mboten. Nopo?
Tri Nurul Hayati:
Nyuwun sewu, nyuwun doa nipun anak kulo bade, cita-citanipun dados tentara, nopo Bapak saget, istilahe nopo maringi…
Presiden RI:
Iyo, kalih Pangdam nanti, dengan Pak Pangdam niku. Pak Pangdam teng ngajeng.
Tri Nurul Hayati:
Nggih, Pak.
Presiden RI:
Nanti bisik-bisik ke Pak Pangdam.
Tri Nurul Hayati:
Mbok menawi ngonten nopo, istilahe, nopo…
Presiden RI:
Ngonten nopo? Nopo? Ngonten nopo?
Tri Nurul Hayati:
Dados grogi niki kulo Pak.
Presiden RI:
Yang semua, semua yang berkaitan dengan rekrutmen seperti itu ada prosedurnya yang harus dilalui.
Tri Nurul Hayati:
Iya, Pak.
Presiden RI:
Enggak tahu, bisa delapan kali, bisa sembilan kali, saya enggak tahu karena di TNI ini anunya ketat sekali. Dan perlu saya sampaikan sampai presiden pun enggak bisa yang namanya titip-titip, mboten enten.
Tri Nurul Hayati:
Nggih, Pak.
Presiden RI:
Nggih. Jadi saya sampaikan, kalau jawaban saya kalau mintanya ke saya, tidak bisa, pun. Jelas?
Tri Nurul Hayati:
Bukan Pak, minta doanya supaya…
Presiden RI:
Oh doa, kalau doa tak doain, tak doain, tak doain, pun, tak doain, nggih. Nggih, sampun.
Tri Nurul Hayati:
Matur nuwun.
Presiden RI:
Sami-sami. Sudah dapat sepeda, dapat foto, masih minta…
Ya, saya kira jelas semuanya. Tadi mengenai sertifikat, saya kira tidak perlu saya ulang lagi. Sekali lagi, marilah sertifikat ini kita gunakan untuk kesejahteraan keluarga kita. Dan kalau memang tidak akan digunakan, sekali lagi, disimpan baik-baik, jangan sampai hilang.
Saya tutup.
Terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatulah wabarakatuh.