Penyerahan Sertifikat Tanah Untuk Rakyat
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semua.
Yang saya hormati, para Menteri Kabinet Indonesia Maju, hadir bersama saya Pak Menteri BPN, berdiri Pak, Pak Menteri BPN. Yang kedua, Pak Menteri Pariwisata. Yang ketiga, Pak Menteri Sekretaris Negara. Bapak Gubernur enggak usah saya kenalin, ya?;
Yang saya hormati, Bapak Gubernur;
Yang saya hormati, Bapak Wakil Gubernur, Bapak Bupati Kulon Progo, dan seluruh Bupati yang hadir, Pak Pangdam, Pak Kapolda, Pak Kajati.
Bapak/Ibu sekalian seluruh penerima sertifikat yang hari ini sudah pegang sertifikatnya,
Coba diangkat. Jangan diturunkan dulu mau saya hitung. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22,…3.218 ‘mpun kalau sudah diangkat gitu ketingal, nggih to? Saya kadang-kadang takut jangan-jangan yang diberi yang di depan tadi hanya 12 orang, ternyata semuanya sudah diangkat keliatan, sertifikat sudah diterima.
Karena, Bapak/Ibu sekalian, problem-nya apa? Setiap saya ke desa, setiap saya ke kampung, setiap saya ke daerah, keluhannya apa? Konflik tanah, sengketa tanah, konflik lahan, sengketa lahan selalu di kuping saya itu terus. Saya cek ini apa sih? Saya cek itu tahun 2015, ada apa kok kejadiannya seperti ini terus? Setelah saya lihat, ternyata di seluruh Indonesia, seluruh Tanah Air kita ini harusnya ada 126 juta bidang tanah yang harus di sertifikatkan. Tetapi saat itu, tahun 2015 baru ada selesai 46 juta berarti masih kurang 80 juta yang belum pegang sertifikat. Ini adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki, ndak pegang ini akhirnya apa? Sengketa, tetangga dengan tetangga, masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan swasta, masyarakat dengan masyarakat karena apa? 80 juta (tanah/lahan) belum tersertifikat. Kenapa sebanyak itu? Karena setahun, di seluruh Tanah Air ini hanya, sebelumnya hanya, produksinya itu hanya 500 ribu per tahun. Kalau 80 juta berarti menunggu 160 tahun, nggih mboten? Setahun hanya 500 ribu, masih ada 80 juta yang belum, berarti masih 160 tahun. Siapa yang mau menunggu 160 tahun? Sertifikatnya jadi, silakan maju, saya beri sepeda. 160 tahun sertifikatnya jadi, maju, saya beri sepeda sini sini. Ada yang mau? Enggak akan ya? Enggak mau pasti karena ini adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki. Kalau ada apa-apa, orang datang ke kita, datang ngaku-ngaku, “Ini tanah saya, ini tanah saya”. “Bukan, (ini) tanah saya.” Di sini ada, nama di sini, Joko Widodo ada di sini, desanya ada di sini, desanya Gumukrejo. Desa saya di Boyolali sana namanya Gumukrejo. Luasnya di sini ada, berapa luasnya. Sudah tunjukin ini, yang ngaku-ngaku tadi pasti balik. Ini karena, sekali lagi, sertifikat adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki.
Yang kedua. Saya titip, kalau sudah sertifikat jadi, diplastik semuanya, nggih? Ya, masuk plastik. Sebelum nanti disimpan, tolong difotokopi, yang ini taruh di lemari, satu, yang fotokopi taruh di lemari, dua. Kalau ini hilang, masih punya fotokopi, mengurusnya mudah. Nggih? (Nggih!) Pirsa, nggih? (Nggih!) Nggih, dan kalau fotokopinya hilang, enggak apa-apa, fotokopi lagi, ngaten.
Yang ketiga, ini biasanya…, kalau sertifikatnya sudah jadi biasanya…, pasti pengin disekolahkan, nggih mboten? Mboten napa-napa. Ini disekolahkan tidak apa-apa. Mau dipakai untuk agunan ke bank? Tidak apa-apa. Mau dipakai untuk jaminan ke bank? Tidak apa-apa, silakan. Seperti tadi yang disampaikan oleh Bapak Gubernur tadi, enggak apa-apa. Tapi, sebelum ini dipakai untuk jaminan ke bank, agunan ke bank, tolong dihitung dulu. Dihitung mau pinjam berapa? Pergi ke bank mana? Jangan ini dapat sertifikat langsung…, keluar dari sini langsung ke bank, “Pak pinjam 200 juta”, ampun ngoten, jangan seperti…, harus dihitung, direncanakan untuk apa? Bisa ngangsur atau tidak, bisa nyicil atau tidak? Dihitung semuanya.
Coba tunjuk jari yang ingin memakai ini untuk agunan ke bank, tunjuk jari, enggak usah malu. Mana coba? Yang pengin pakai ini untuk agunan ke bank. Nggih, ada, ada, nggih, nggih, nggih cobi, maju mriki, enggak apa-apa. Nggih, maju mriki. Ada ibu-ibu yang ingin sertifikatnya dipakai untuk agunan ke bank? Ini, saya Pak, saya Pak, bisik-bisik. Ada? Yang ibu-ibu? Ah itu, yang belakang itu, yang nunjuk jarinya gini tadi. Nggih, nggih, yang anu kuning, nggih, jilbab kuning. Ada yang pengin hanya untuk disimpan? Berarti mau dipakai untuk pinjam semua ini? Ada yang dipakai hanya untuk disimpan? Enggak apa-apa, namanya mau disimpan. Ada? Mana yang mau disimpan saja. Oh, ya banyak berarti. Nggih, nggih, nggih, nggih, nggih, nggih, nggih, mana yang mau disimpan mana, yang mau disimpan? Nggih cobi, menika yang pake peci, tadi kan…nggih mriki, maju. Sudah. Satu saja, satu saja. Nih, dikenalkan dari…, ‘teng mriki, jangan jauh-jauh, dekat sini. Nama, dari mana?
Bapak Heri:
Nama saya Heri Subianto dari Desa Panjatan, Dusun IV Panjatan.
Presiden RI:
Sebentar…Pak Heri, dari Desa Panjatan?
Bapak Heri:
Iya.
Presiden RI:
Tebih mboten saking mriki?
Bapak Heri:
Kurang lebih 7 kilometer, Pak.
Presiden RI:
Tujuh kilometer, oh, nggih. Celak, dekat nggih. Tadi disampaikan, sertifikat mau dipakai untuk agunan, nggih?
Bapak Heri:
Nggih, Pak.
Presiden RI:
Ini berapa meter persegi (m2)?
Bapak Heri:
200 m2
Presiden RI:
200 m2, saya cek dulu. Nah, keliru lo.
Bapak Heri:
Lebih sedikit, Pak.
Presiden RI:
Oh, enggak boleh, lo, ya. Harus tahu pasti tanah kita itu berapa, tercantum di sini 208 m2. Sampeyan purun, hanya 200 m2 yang 8 m2 kula jaluk?
Bapak Heri:
Mboten, Pak.
Presiden RI:
Nah, mboten kan? 208 m2. Mau dipakai untuk agunan ke bank? Jaminan ke bank?
Bapak Heri:
Iya, Pak.
Presiden RI:
Bank mana?
Bapak Heri:
Ya, kita nanti lihat-lihat dulu, Pak.
Presiden RI:
Oh, lihat-lihat dulu. Benar itu, lihat-lihat dulu, nggih. Dibanding-bandingke, nggih. Mau pinjam berapa?
Bapak Heri:
Enggak banyak, Pak. Cuma Rp5 juta paling.
Presiden RI:
Rp5 juta, nggih. Rp5 juta mau dipakai untuk apa kalau boleh saya tahu?
Bapak Heri:
Modal usaha Pak, sama….
Presiden RI:
Modal usaha, kangge menapa? Modal usaha apa? Jualan apa?
Bapak Heri:
Usaha bengkel sepeda, Pak.
Presiden RI:
Bengkel sepeda. Bengkel sepeda kok Rp5 juta akeh, men. Masa butuhnya Rp5 juta untuk apa saja, sih? Oke, sekarang pinjam, pinjam ke bank, dapat Rp5 juta, untuk apa saja?
Bapak Heri:
Beli onderdil, Pak.
Presiden RI:
Beli onderdil pinten?
Bapak Heri:
Semuanya (Rp5 juta), Pak.
Presiden RI:
Semuanya itu onderdil?
Bapak Heri:
Iya.
Presiden RI:
Masyaallah, onderdil kok sampai Rp5 juta, sepeda….
Bapak Heri:
Onderdil mahal Pak, sekarang Pak. Mahal, Pak.
Presiden RI:
Tapi masa sampai Rp5 juta, nggih?
Bapak Heri:
Iya Pak, itu mungkin segitu (Rp5 juta) saja mungkin enggak terlalu kelihatan Pak, dagangannya.
Presiden RI:
Oh, enggak kelihatan, nggih? Percaya, saya percaya. Kalau saya jadi bank, (Pak Heri) meyakinkan, ya sudah saya beri, begitu pasti bank, nggih pun. Bisa…, hitungannya bisa nyicil mboten? Rp5 juta ini nyicil per bulan berapa? Sudah dihitung? Dihitung lo nggih, mangke nggih.
Bapak Heri:
Ya insyaallah dengan adanya pinjaman, mungkin akan lebih meningkatkan nanti, Pak. Insyaallah bisa terwujud, ya.
Presiden RI:
Bisa pakai hitung-hitungan, nggih? Bisa nyicil per bulan, pendapatan saya berapa. Oh nyicil, oh kecil, jalankan enggak apa-apa. Tapi kalau dihitung, waduh kok berat, jangan. Hati-hati! Kalau keliru hitung, yang namanya sertifikat bisa hilang lo, nggih. Bisa diambil bank lo, nggih. Hati-hati, saya hanya titip. Rp5 juta itu ambil nanti yang namanya KUR (kredit usaha rakyat), nggih, di bank. BRI ada KUR, itu bunganya hanya 6 persen. Nggih?
Bapak Heri:
Nggih.
Presiden RI:
Nggih. Apalagi yang mau disampaikan? Sudah? Berarti (pinjam) hanya untuk beli apa tadi?
Bapak Heri:
Onderdil.
Presiden RI:
Onderdil. Jangan sampai…, gini lo, pinjam Rp5 juta, karena enggak punya perencanaan, pulang. Malamnya mimpi, pengin beli motor baru. Waduh, ini Rp1 juta saya pakai untuk uang muka. Nah, ini mulai. Dapat sepeda motor baru, muter-muter kampung, gagah. Bulan kedua, nyicil sepeda motor sama nyicil ke bank, hati-hati 2 cicilan. Itu nggih, 6 bulan thok. Banknya enggak bisa nyicil, sertfiikat ditarik bank, dealer enggak bisa nyicil, motornya ditarik sama dealer, sudah. 6 bulan, pitados kula, pun. Sertifikat hilang, sepeda motor hilang, gagahnya hanya 6 bulan, hati-hati. Jangan sampai kejadian seperti itu, saya hanya ingin mengingatkan. Nggih, Pak Heri?
Bapak Heri:
Nggih.
Presiden RI:
Nggih.
Ibu, Bu, dikenalkan, nama.
Ibu Suhartati:
Assalamu’aiaikum, nama saya Ibu Suhartati.
Presiden RI:
Wa’alaikumsalam, Bu?
Ibu Suhartati:
Suhartati.
Presiden RI:
Bu Suhartati, panggilannya?
Ibu Suhartati:
Bu Tati.
Presiden RI:
Bu Tati, nggih, Bu Tati.
Ibu Suhartati:
Dari Pundong, Bantul.
Presiden RI:
Dari?
Ibu Suhartati:
Pundong, Bantul.
Presiden RI:
Bantul?
Ibu Suhartati:
Iya.
Presiden RI:
Oh, nggih, dari Bantul.
Tadi sertifikatnya berapa m2? Masih membuka ini berarti belum tahu. Semua harus tahu lo, ya. Ditanya siapapun yang tanya, harus tahu. Ini, saya tunjukin Bu Tati, nggih, desanya di (Desa) Seloharjo, betul? m2-nya ini di bawah, 330 m2, nggih. 330 m2 nggih, sudah. Nah, niki mboten pirsa niki berarti juga, masih membuka-buka. Banyak yang belum tahu, hati-hati. Punya tanah seperti ini harus hafal. Lo, ini mahal! Ibu mau dipakai untuk apa?
Ibu Suhartati:
Insyaallah mau buat usaha….
Presiden RI:
Untuk agunan…ini mau pinjam ke bank?
Ibu Suhartati:
Iya.
Presiden RI:
Dipakai jaminan ke bank?
Ibu Suhartati:
Iya.
Presiden RI:
Berapa mau pinjam?
Ibu Suhartati:
Sama, sekitar Rp5 juta.
Presiden RI:
Rp5 juta. Rp5 juta mau dipakai apa?
Ibu Suhartati:
Untuk usaha berdagang.
Presiden RI:
Usaha berdagang, berdagang apa?
Ibu Suhartati:
Sembako.
Presiden RI:
Sembako, sembako niku napa?
Ibu Suhartati:
Sembilan bahan baku.
Presiden RI:
La nggih, napa mawon?
Ibu Suhartati:
Beras, minyak….
Presiden RI:
Beras, gula, ngoten?
Ibu Suhartati:
Iya.
Presiden RI:
Terus?
Ibu Suhartati:
Gula, minyak….
Presiden RI:
Hmmm?
Ibu Suhartati:
Beras, gula, minyak.
Presiden RI:
Beras, gula, minyak?
Ibu Suhartati:
Iya.
Presiden RI:
Nggih, napa malih? Mpun?
Ibu Suhartati:
Sudah.
Presiden RI:
Ibu sekarang sudah punya warungnya?
Ibu Suhartati:
Belum ada.
Presiden RI:
Belum ada, berarti ini baru?
Ibu Suhartati:
Iya, baru mau mulai.
Presiden RI:
Terus, nanti bikin warungnya di mana?
Ibu Suhartati:
Di dekat rumah.
Presiden RI:
Bikin warung itu pakai apa?
Ibu Suhartati:
Pakai material.
Presiden RI:
Pakai material, lo nggih, materialnya didapat dari mana? Beli?
Ibu Suhartati:
Iya.
Presiden RI:
Nggih?
Ibu Suhartati:
Nggih.
Presiden RI:
Rp5 juta cukup mboten? Dihitung ya, dihitung, itu harus dihitung. Oh, ini untuk beli…, oh, saya enggak/belum punya warung, berarti harus bikin warung. (bikin) Warungnya berarti butuh berapa kemudian untuk beli sembako, berasnya beli, oke (beli) beras Rp2 juta, gulanya Rp1 juta, misalnya, minyaknya Rp2 juta. Oh, Rp5 juta kok habis. Yang untuk bangun warung dari mana? Semuanya dihitung, saya titip, semuanya dihitung, hati-hati. Pinjam ke bank itu mesti ada hitungannya, harus ada rencananya, saget nyicil napa mboten? Rp5 juta itu nyicilnya, sebulan berapa berarti kira-kira? Pirsa? Bu Tati pirsa? Belum? Nanti ke bank tanya, saya berarti nyicil berapa per bulan, Pak? Oh, segini, hitung. Oh, untung berasnya sekian, untung minyaknya sekian, untung gulanya…, “Oh masuk, berani,” Baru, nggih, saya pinjam. Begitu sama bank. Jangan main pinjam-pinjem, pinjam-pinjem, enggak bisa mengangsur, hati-hati. Tadi berapa mau pinjam?
Ibu Suhartati:
Rp5 juta.
Presiden RI:
Rp5 juta, terus warungnya?
Ibu Suhartati:
Warungnya pakai rumah dulu.
Presiden RI:
Pakai?
Ibu Suhartati:
Di dalam rumah dulu.
Presiden RI:
Oh, di dalam rumah dulu. Jualan warung di rumah dulu. Oke, nggih, ya bisa juga, nggih, nggih, nggih.
Monggo, Pak. Nama.
Bapak Suhardi:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Presiden RI:
Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Bapak Suhardi:
Nama saya Suhardi, alamat (dukuh) Purworejo.
Presiden RI:
Pak?
Bapak Suhardi:
Suhardi.
Presiden RI
Pak Suhardi, nggih.
Bapak Suhardi:
Purworejo, Hargobinangun, Pakem, Sleman.
Presiden RI:
Sleman. Pakem, Sleman, nggih.
Bapak Suhardi:
Mekaten, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Presiden RI:
Sebentar, belum saya tanya sudah ditutup. Saya tanya dulu. Luas tanahnya berapa?
Bapak Suhardi:
Ada 1.065 m2.
Presiden RI:
1.065 m2 cobi. Ini enggak mau dipakai untuk pinjaman ke bank?
Bapak Suhardi:
Ah, ndak.
Presiden RI:
Ndak, nggih. Tadi saya tanya ini yang tidak dipakai pinjam ke bank mana, tunjuk jari. Bapak kan tunjuk jari, berarti tidak dipakai? Sementara ini tidak dipakai untuk pinjaman ke bank, nggih. Nggih, 1.068 m2 nggih, ini di Hargobinangun, leres, nggih. Kenapa enggak dipakai untuk pinjam ke bank?
Bapak Suhardi:
Nggih, ya karena apa ya…nah, untuk…, besok jangan sampai (sertifikat) ini hilang, gitu aja.
Presiden RI:
Oh, takut (sertifikat) ini hilang?
Bapak Suhardi:
Iya.
Presiden RI
Diambil bank?
Bapak Suhardi:
Iya.
Presiden RI:
Ini jadi mau disimpan saja? Mau disimpan saja di rumah, ngoten?
Bapak Suhardi:
Nggih.
Presiden RI:
Nggih, pun, nggih, nggih, matur nuwun, matur nuwun. Nggih, matur nuwun, matur nuwun.
Sebentar, sebentar, ini ada, sebentar, sebentar, sebentar, sebentar. Ini saya beri foto. Ini yang namanya apa? Namanya kerja cepat. Baru berdiri di sini 5 menit, fotonya sudah jadi. Sama seperti sekarang urusan sertifikat juga sama, ada kecepatan mungkin 20 kali lipat dibandingkan sebelumnya sekarang membuat sertifikat, cepat hingga selesai.
Dan foto ini mahal. Kenapa mahal? Karena ini, coba dibaca di baliknya, ada tulisannya ‘Istana Presiden Republik Indonesia’, nggih, sebentar. Ini Bu Tati, monggo, nggih. Ini Pak Hardi, nggih, pun, monggo. Sebentar, sebentar, ini saya dikode lagi. Sebentar, sebentar, ini masih ada kode lagi, sebentar, sebentar. Ditambah sepeda. Ambil, ambil langsung, ambil langsung saja sudah. Enggak usah…, ambil langsung. Sudah, langsung bawa ke kursi, pun.
Ini mau pulang, Pak Heri? Dapat sepeda terus dadah-dadah mau pulang, nggih, pun diasta, ke sana enggak apa-apa, taruh saja di gang itu enggak apa-apa, bawa saja ke sana. Sampun, nggih, enggak apa-apa. Napa? Nggih, sami-sami. Ngatos-atos.
Nggih, saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi, gunakanlah sertifikat yang ada untuk kebaikan, kesejahteraan keluarga kita.
Saya tutup.
Terima kasih.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.