Penyerahan Surat Keputusan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (SK-TORA) Hutan

Kamis, 5 September 2019
Taman Digulis Untan, Pontianak - Kalimantan Barat

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamualaikum Warahmatulah Wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Shalom.

Yang saya hormati Bapak Ketua DPD-RI, Pak Oesman Sapta Odang, sekaligus tokoh masyarakat di Kalbar beliau ini,

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja. Hadir bersama saya Pak Menteri PU, Pak Menteri BPN, Bu Menteri Kehutanan, Pak Menko Perekonomian, dan juga Pak Moeldoko Kepala Staf Kepresidenan,

Yang saya hormati para Anggota DPR-RI, DPD-RI yang hadir, Gubernur Kalimantan Barat, beserta Gubernur se-Kalimantan yang hadir di sini. Gubernur Kalimantan Timur Pak Isran Noor, beliau ini sekarang setiap hari keluar TV terus dan kelihatan paling cerah karena ibu kota akan dipindahkan ke Kalimantan Timur. Pak Wagub Kalimantan Barat, Pak Wagub Kalimantan Tengah,

Bapak/Ibu sekalian penerima SK Hutan Adat yang tadi juga telah kita serahkan,
Pertama, perlu saya sampaikan mengenai sertifikat dulu, bukan ini ya, sertifikat. Di Indonesia ini, di seluruh Tanah Air Indonesia harusnya itu ada 126 juta sertifikat tanah yang harusnya dipegang rakyat. Tetapi di tahun 2015 baru 46 juta yang diterima. Jadi yang belum pegang sertifikat itu ada 80 juta bidang yang mestinya harus pegang sertifikat 80 juta. Setahun produksi sertifikat kita 500.000, sebelumnya dulu, 500.000. Berarti kalau 80 juta, Bapak/Ibu menunggu sertifikatnya berapa? 160 tahun. Mau? Siapa yang mau menunggu sertifikat 160 tahun? Yang mau sini maju saya beri sepeda. Ada yang mau menunggu 160 tahun?

Inilah yang ingin kita selesaikan. Sehingga, saya ingat, 2015 akhir, 2016, saya perintahkan ke Pak Menteri BPN, “Pak Menteri enggak bisa ini diterus-teruskan seperti ini, saya minta tahun depan lima juta harus keluar.” Dari 500.000 menjadi lima juta. Terus 2018 saya enggak mau lima juta lagi, tujuh juta harus keluar. Tahun ini target kita sembilan juta harus keluar. Saya yakin insyaallah juga akan bisa terselesaikan karena yang lima juta kemarin terlampaui, tujuh juta terlampaui, sembilan juta pasti, nyatanya kita bisa melakukan itu.

Perkiraan kita nanti di 2025 semua lahan yang 80 juta tadi sudah bersertifikat. Jadi tidak ada lagi begitu saya masuk ke kampung, masuk ke desa suara sengketa lahan, sengketa tanah, konflik lahan, konflik tanah, enggak ada. Itu yang menyebabkan kita sering konflik ya di situ. Tanah. Benar ndak? Di semua provinsi, di semua wilayah kita, enggak di Sumatra, enggak di Kalimantan, enggak di Jawa, enggak di Maluku, enggak di Papua, semuanya konflik-konflik itu ada dan banyak. Karena apa? Ya tadi, 80 juta belum bersertifikat.

Inilah problem yang harus saya sampaikan apa adanya. Tapi rampung, percayalah. Sekarang kantor BPN kerjanya dari pagi sampai tengah malam, Sabtu-Minggu juga ngurusi penyelesaian sertifikat. Karena saya target, menterinya saya target sembilan juta, iya kan. Menteri target ke Kanwil BPN Provinsi, “Kamu dua juta, kamu tiga juta, kamu…,” yang enggak selesai ya ganti saja kanwilnya. Kanwil perintah ke kantor di kabupaten, “Kamu 100 ribu, kamu 200 ribu.” Ya, kantor BPN di kabupaten enggak selesai ya ganti juga. Iya kan? Ya kerja seperti itu. Saya target sembilan juta ke menteri, lima juta kemarin berhasil, tujuh juta berhasil, tahun ini sembilan juta berhasil, kalau berhasil. Kalau enggak berhasil? Ya kan?…

Kita kerja seperti itu. Kalau kerja enggak seperti itu, ya rakyat menunggu 80 juta sertifikat yang harus diserahkan, gimana kalau kerjanya 500.000? 160 tahun, kita sudah enggak ada.

Oke, sekarang yang kedua. Urusan ini. Sudah pegang semua ya tadi ya? Mana? Sudah? Coba. Ya, oke, oke oke, sudah. Oke, baik yang hijau maupun yang biru.

Ini adalah proses kita untuk mendistribusi lahan dan memberikan kepastian hukum. Ini adalah kepastian hukumnya kalau sudah pegang ini. Benar ndak? Setelah pegang ini nanti, tolong juga diurus ke BPN untuk menjadi sertifikatnya. Tapi ini sudah, ini sudah kuat ini, sebetulnya sudah kuat. Tapi kalau mau sertifikasi, urus lagi di Kantor BPN. Tapi Pak Menteri BPN sudah bisik-bisik saya, “Pak sudah, ini kalau sudah yang pegang ini gampang, nanti begitu ukur tanah rampung akan bisa kita selesaikan.”

Artinya yang pegang lahan ini tidak hanya yang gede-gede. Saya selalu sampaikan, saya enggak pernah memberikan ke yang gede-gede, tapi ke rakyat yang kecil-kecil saya berikan, ini.

Tadi saya lihat itu ada yang 4 juta meter persegi tadi ada. Ada yang 8 juta meter persegi diberikan. Ada yang 150 hektare, berarti berapa itu? Sudah kalikan sendiri kalau di meter perseginya berapa.

Jadi hari ini ada 133.000 yang kita bagikan, tapi yang hadir di sini tadi yang kita berikan 19.000 hektare. Ini gede banget lo. Jangan dipikir 133.000 hektare itu kecil, gede banget ini. Apalagi dijadikan meter persegi. Untuk 5.200 KK. Bagi, sudah, sehingga status hukumnya menjadi jelas. Bapak-Ibu semuanya yang sudah pegang ini juga menjadi jelas.

Senang?
Senang?
Senang?

Yang enggak senang maju, saya beri sepeda. Silakan, ada yang mau maju, satu saja? Saya mau tahu ini mau dipakai apa. Jangan-jangan sudah dibagi-bagi, dapat sekian hektare, sekian ratus hektare, ada 8 ribu hektare, ada yang 4 ribu hektare ternyata dianggurkan, enggak dikerjakan, tidak ditanami apa-apa, tidak produktif. Hati-hati, saya sudah peringatkan juga, tidak yang gede, tidak yang kecil sama, tanah yang tidak produktif cabut. Harus produktif.

Ada yang mau dipakai untuk menanam durian serumbut? Enggak ada? Ada yang mau dipakai untuk menanam singkong? Ada? Mana? Singkong, singkong. Apa? Singkol? Jengkol? Coba yang mau nanam jengkol tadi sini.  Yang mau nanam singkong tadi mana? Tunjuk jari. Ada yang menanam singkong? Mau menanam singkong? Ya coba maju yang mau menanam singkong, sini. Ya, sini.

Sini Pak, maju. Ya dikenalkan dulu, nama.

Agung Gregorius:
Selamat siang semuanya.

Presiden RI:
Siang.

Agung Gregorius:
Yang terhormat Bapak Presiden yang saya cintai dan juga pasti semuanya masyarakat yang hadir di sini juga. Oke, perkenalkan nama saya Agung Gregorius.

Presiden RI:
Siapa?

Agung Gregorius:
Agung Gregorius.

Presiden RI:
Agung Gregorius.

Agung Gregorius:
Gregorius. Saya berasal dari Sekadau.

Presiden RI:
Sekadau.

Agung Gregorius:
Kecamatan Belitang Hulu, Desa Seburuk Satu.

Presiden RI:
Ya, Sekadau. Oke.

Agung Gregorius:
Oke. Kenapa saya tertarik untuk menanam jengkol, kebetulan saya…

Presiden RI:
Sebentar, belum ditanya. Tanahnya berapa hektare atau berapa meter persegi?

Agung Gregorius:
Sembilan ribu.

Presiden RI:
Sembilan ribu meter persegi, satu hektare.

Agung Gregorius:
Iya.

Presiden RI:
Satu hektare. Oh ya, satu hektare itu gede itu satu hektare. Oke, mau ditanam?

Agung Gregorius:
Jengkol.

Presiden RI:
Ya, mau ditanam jengkol. Sekarang pertanyaan saya, kenapa ditanam jengkol?

Agung Gregorius:
Oke. Ya pertama kenapa saya mau tanam jengkol karena peluangnya masih besar.

Presiden RI:
Peluang apa?

Agung Gregorius:
Peluang untuk memodalkan bisnis. Karena kebetulan saya di Pontianak ini tinggal ngekost dan yang punya kost itu bisnis jengkol. Jadi setiap minggu dia harus kirimkan belasan ton ke Jawa.

Presiden RI:
Oh, ini dikirim ke Jawa.

Agung Gregorius:
Iya.

Presiden RI:
Berarti yang makan jengkol ini orang Jawa.

Agung Gregorius:
Bisa jadi.

Presiden RI:
Oke. Yang nanam di Kalimantan, yang makan di…

Agung Gregorius:
Jawa. Kita juga sebagai penikmatnya.

Presiden RI:
Yang dapat untung di sini, yang di sana dapat jengkolnya. Oke. Oke. Satu hektare itu bisa ditanam berapa pohon? Atau sembilan ribu tadi bisa ditanam berapa pohon?

Agung Gregorius:
Kira-kira jarak jengkol itu sekitar lima meter.

Presiden RI:
Lima meter? Lima kali satu atau lima kali lima?

Agung Gregorius:
Lima kali lima.

Presiden RI:
Lima kali lima?

Agung Gregorius:
Iya.

Presiden RI:
Oke, nggih. Berarti hanya Berapa itu jadinya, berapa pohon itu bisa ditanam?

Agung Gregorius:
Seratus… Dua ratus ya, 200. Kurang lebih begitu.

Presiden RI:
Ya, oke. Terus 1 hektare kira-kira nanti itu kalau dipanen akan menghasilkan berapa jengkol, sudah dihitung?

Agung Gregorius:
Itu belum. Karena tergantung juga, biasa buah jengkol itu juga, apalagi kalau buat saya pribadi untuk di bidang yang namanya seperti itu bukan basicnya tapi pengin belajar, jadi belum pernah menghitung pupuknya harus berapa, hasilnya berapa. Yang pasti pengin untuk berbisnis jengkol.

Presiden RI:
Bapak/Ibu sekalian, jadi, kalau punya lahan pengin ditanami singkong, pengin ditanami jengkol. Tolong dihitung betul, ada berapa… perkiraan enggak apa-apa, ada berapa pohon bisa kita tanam, kemudian hasil tiap pohon berapa kilo, berarti hasilnya per hektare bisa berapa ton. Semuanya harus terhitung. Kalau kita enggak punya duit, kan, apalagi pinjam bank hitungannya harus lebih detail lagi. Oh, saya bisa ngangsur cicilannya ke bank, enggak apa-apa. Pinjam ke bank kan juga enggak apa-apa. Tapi kalau enggak pinjam tetap harus dihitung. Sehingga kita mengerti income kita berapa, kita kan dapat pendapatan berapa, panennya pada tahun berapa. Menjadi jelas, kalau kurang jelas tanyakan (yang belum tahu).

Jangan lahan segede itu ditanami, ternyata jengkolnya enggak berbuah, gimana? Ya bisa saja karena pengetahuan kita di situ belum… ya kan? Atau berbuah tapi hanya sedikit. Lebih baik ditanami misalnya durian, kan harus ada pembanding, untung ditanami durian atau ditanami jengkol. Tapi memang jengkol sekarang harganya tinggi, memang betul.

Ya, jadi diharapkan dapat income berapa dari satu hektare nanti? Sudah ada hitungannya?

Agung Gregorius:
Paling enggak penghasilannya per bulan itu satu ton.

Presiden RI:
Satu ton itu berapa?

Agung Gregorius:
Kalau di sini sekarang harga jengkol itu kalau tidak lagi dengan kulitnya itu rata-rata Rp18 ribu sampai Rp20 (ribu).

Presiden RI:
Berarti dapat berapa juta itu?

Agung Gregorius:
Rp18 juta.

Presiden RI:
Ya, Rp18 juta. Ya, saya kira baik.

Ya sekarang gantian singkong. Dikenalkan dulu namanya.

Hermanus:
Ya, maaf ya saya ini, aduh…

Presiden RI:
Sini-sini, kok belum-belum sudah maaf ya ini kenapa?

Agak sini, agak sini.

Hermanus:
Jadi kenapa tadi saya bilang mau tanam, apa tadi…

Presiden RI:
Namanya dulu. Nama, nama dulu. Pak, Bapak… namanya.

Hermanus:
Singkong… kan…
Eh. Oh, nama saya…

Presiden RI:
Iya, nama.

Hermanus:
Nama saya Hermanus,

Presiden RI:
Hermanus…

Hermanus:
Dari Kabupaten Sekadau, Kecamatan Belitang Hulu.

Presiden RI:
Pak Hermanus, juga dari Sekadau.
Oke, terus, cerita silakan, urusan singkong.

Hermanus:
Jadi mengapa tadi saya katakan mau nanam singkong. Karena singkong itu bermacam-macam kegunaannya.

Presiden RI:
Contoh, untuk apa?

Hermanus:
Contohnya segala kerupuk, apa… mulai dari dulu-dulu kakek moyang kita makan singkong juga, untuk menghidupi anak-cucunya, sampai sekarang juga masih makan singkong. Bahkan bukan hanya kita manusia, segala ayam juga mau makannya.

Presiden RI:
Jadi manusia makan singkong, ayam juga makan singkong?

Hermanus:
Iya mau, mau dia.
Dibelah-belah, dibuang ya mau diginiginikan dia…

Presiden RI:
Oke, bagus. Terus?

Jadi Pak Hermanus, ini ada berapa hektare tanahnya tadi, punya berapa hektare atau meter persegi?

Hermanus:
Tanahnya untuk tanam singkong, maklum kadang-kadang tanah kami di sana ada yang 2 hektare, 1 hektare yang bisa untuk tanam singkong.

Presiden RI:
Yang mau ditanami berapa Pak Hermanus?

Hermanus:
Yang satu…, eh kadang-kadang jaraknya itu kurang lebih, segini-gini lah jaraknya itu, per pokok(pohon)-nya. Jadi enggak terhitung.

Presiden RI:
Oh, enggak terhitung.

Hermanus:
Kadang-kadang… seandainya 1 hektare, 2000 pokok.

Presiden RI:
Oke.

Hermanus:
Enggak terhitung.

Presiden RI:
Enggak terhitung?

Hermanus:
Kalau saya nanam singkong, saya enggak hitung, enggak mampu. Untuk apa saya hitung.

Presiden RI:
Ini nanam singkong enggak mampu ngitung?

Hermanus:
Enggak. Untuk apa saya hitung?

Presiden RI:
Oke. Sudah.

Hermanus:
Jadi makanya…

Presiden RI:
Oke, kalau bertanya saya, berarti hasilnya satu musim berapa ton? Masak juga enggak dihitung? Enggak, enggak tahu?

Hermanus:
Saya pernah nanam singkong enggak pernah dijual.

Presiden RI:
Waduh. Jadi buat makan sendiri?

Hermanus:
Iya dimakan, iya tadi saya bilang macam-macam makan. Ayam segala, babi,
Kita juga mau, kalau kelaparan enggak bawa nasi, ah rebus saja singkong untuk makan, kenyang lah kita. Nanti kalau pulang ke rumah baru makan nasi.

Presiden RI:
Oke. Berarti enggak dijual sama sekali? Enggak dijual, singkongnya enggak dijual ke Jawa atau…

Hermanus:
Di kampung termasuk kurang untuk jual singkong. Kalau dekat-dekat kota ya, kemungkinan lah. Dekat-dekat pasar gitu. Kalau di kampung, mana orang mau beli. Terserah saja lah mau berapa ribu, mau busuk gitu, mana ada orang beli.

Presiden RI:
Oke. Tanya apa lagi ya?
Enggak terjawab semuanya, mau tanya apa lagi.

Hermanus:
Nah, itu lah maka saya… semua orang tanam singkong, makan singkong.

Presiden RI:
Oke, oke, oke. Nangkep, nangkep, nangkep.
Sudah, sepedanya bawa sini saja sudah. Saya jadi pusing sendiri mau tanya apa gitu. Pintar banget memang ini Pak Hermanus, pintar banget. Sudah, sudah.

Oke terima kasih, terima kasih Pak. Sepedanya diambil sudah. Oh ini, ini, ini masih ada juga. Sepeda diberi, ada foto juga. Ini foto, ini baru lima menit di sini ini fotonya sudah jadi ini. Ini yang namanya semuanya kerja harus cepat ya seperti ini. Ini, sudah. Ya, sudah. Ini, Pak Hermanus. Ini kebalik ini mungkin, fotonya kebalik coba di cek. Di cek, cek dulu. Sudah.

Jawabnya malah bikin pusing saya. Ya sudah pilih yang mana, malah jadi ribut itu. Sudah, dapat sepeda, dapat foto.

Itu sampai rumah diangkat gitu terus?

Bapak ibu sekalian sekali lagi saya titip, sekali lagi saya titip agar lahan-lahan yang diberikan ini, tanah yang sudah diberikan betul-betul digunakan agar produktif. Saya hanya titip itu saja. Saya akan nanti perintahkan untuk cek satu-per-satu apakah tanah-tanah yang ada ini betul-betul digunakan. Tadi pak Gubernur sudah menyampaikan juga akan dilakukan pendampingan. Jadi untuk misalnya singkong ya mungkin dicarikan bibit singkong yang baik, mungkin mau ditanami durian ya dicarikan bibitnya yang baik, yang mau ditanami jengkol mungkin juga bisa disiapkan bibit-bibit yang baik.

Karena memang kalau semua lahan, tanah seluruh Tanah Air ini produktif, sudah, sebenarnya rampung, selesai. Semuanya bekerja, semuanya menghasilkan, dan semuanya mendapatkan income.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Nanti kalau saya sudah mendapatkan laporan, oh jengkolnya atau tanamannya sudah bagus-bagus, singkongnya sudah produksinya sudah baik, duriannya sudah tinggi-tinggi dan menghasilkan saya akan datangi. Datang untuk panen durian, panen jengkol, panen singkong dan panen produk-produk yang lainnya.

Saya tutup.
Terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatulah Wabarakatuh.