Peresmian Pembukaan Forum Titik Temu “Kerja Sama Multikultural Untuk Persatuan Dan Keadilan”

Rabu, 18 September 2019
Hotel Double Tree Hilton Cikini, Jakarta

Bismillahirahmanirrahim.

Assalamualaikum Warahmatulah Wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.

Yang saya hormati Bapak Try Sutrisno, Bapak Quraish Shihab, Ibu Shinta Abdurrahman Wahid, Ibu Omi Komaria Nurcholis Madjid, para Menteri Kabinet Kerja yang hadir, seluruh jajaran pengurus Nurcholis Madjid Society, jajaran pengurus jaringan Gusdurian, seluruh jajaran pengurus Maarif Institute,

Yang saya hormati para tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi dan budayawan yang hadir.

Bapak/Ibu, hadirin undangan yang berbahagia,
Saya jadi sulit berbicara karena semuanya tadi sudah disampaikan secara jelas dan gamblang oleh Pak Quraish Shihab, oleh Ibu Omi, oleh Ibu Shinta. Jadi saya mau ngomong apa. Tapi, saya garis bawahi satu tadi yang disampaikan Pak Quraish Shihab. Emosi keagamaan dan cinta keagamaan. Emosi keagamaannya dikurangi atau dihilangkan, kemudian yang dikuatkan, yang ditingkatkan adalah cinta keagamaan. Saya setuju, Pak Quraish.

Bapak/Ibu hadirin yang berbahagia,
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi, bukan hanya lalu lintas informasi yang meningkat sekarang ini, tetapi juga lalu lintas manusia, lalu lintas orang antardaerah, lalu lintas orang antarnegara juga terus meningkat. Orang bergerak dari satu daerah ke daerah lain karena infrastrukturnya semakin baik. Orang bergerak dari satu negara ke negara lain karena konektivitasnya juga semakin baik untuk berbagai alasan. Bisa untuk berwisata, bisa untuk bekerja, bisa untuk berbisnis, dan bisa untuk kegiatan-kegiatan yang lainnya. Baik dalam waktu harian, jangka waktu yang pendek, beberapa bulan, beberapa tahun, dan bahkan menetap selamanya.

Oleh karena itu, saya yakin masyarakat kita dan juga masyarakat dunia ke depan akan semakin majemuk. Semakin majemuk dalam suku maupun etnis, semakin majemuk dalam adat dan budaya, dan semakin majemuk pula dalam agama.

Kemajemukan itu bukan semata-mata akibat dari perkembangan zaman yang tidak bisa kita hindari. Tetapi kemajemukan itu adalah sebuah kebutuhan karena kemajemukan akan membuat kita menjadi kaya imajinasi untuk berinovasi. Kemajemukan membuat kita semakin, akan semakin matang, akan semakin dewasa, dan kemajemukan itu akan menjadi satu bagian tak terpisahkan dari sebuah kemajuan ekonomi.

Kalau kita ingin mengundang wisatawan dari luar negeri, kalau kita butuh mendatangkan orang dengan keahlian yang tidak kita miliki, kalau kita ingin mengundang investor atau pelaku bisnis untuk mendongkrak ekonomi kita maka kita harus terbuka. Terbuka terhadap kehadiran orang lain yang berasal dari daerah lain, yang berasal dari negara lain. Ke depan akan terjadi seperti itu. Yang bisa, yang datang tadi, berbeda etnis, berbeda budaya, dan berbeda agama.

Ke depan, keberhasilan sebuah negara, keberhasilan sebuah daerah, dan keberhasilan sebuah masyarakat akan sangat ditentukan oleh derajat penerimaannya terhadap kemajemukan. Akan sangat ditentukan oleh ini. Semakin sebuah masyarakat bisa menerima kemajemukan, maka akan semakin diminati. Akan semakin dikunjungi, akan semakin didatangi, dan akhirnya akan semakin mampu mendongkrak kesejahteraan ekonomi masyarakat di daerah itu atau di negara itu.

Dan alhamdulillah, kita patut bersyukur Indonesia adalah negara majemuk yang sejak awal berdirinya. Bangsa kita ini adalah bangsa yang bineka, yang berbeda suku, berbeda agama, berbeda budaya. Tetapi Indonesia adalah bangsa yang Tunggal Ika, yang bersatu dalam perbedaan.

Saya sering salah, saat berkunjung ke daerah-daerah karena di setiap kabupaten beda bahasa daerah, beda bahasa lokalnya. Bahkan dalam satu provinsi saja sudah menyapa, yang sering saya sampaikan untuk menggambarkan. Dalam satu provinsi saja perbedaannya seperti itu.

Horas,” Kalau kita di Medan, “Horas.” Saya biasanya buka dengan itu. Masih di Sumut, nanti pergi ke tengah, ke Pakpak, “Horas,” “Keliru Pak, di Pakpak itu Juah-juah.” Saya ganti “Juah-juah,” Belok lagi nanti, agak ke tengah, ke Karo beda lagi, bukan Horas. “Bapak jangan keliru lagi, di sini Mejuah-juah.” Ke selatan beda lagi, masih satu provinsi. Saya sebelum tanya dulu, “Eh, kalau di sini apa ya?” “Pak, kalau di sini Ya’ahowu Pak,” Beda-beda semuanya. Ada Ya’ahowu, Juah-juah, Mejuah-juah, Horas. Satu provinsi, mungkin ada lain yang saya enggak tahu di Sumut karena perginya saya hanya ke tempat-tempat yang tadi saya sampaikan.

Sekali lagi, negara ini betul-betul sebuah negara besar dengan perbedaan-perbedaan yang sangat mencolok. Saya terbang dari Aceh langsung ke timur ke, bukan ke Jayapura, ke Wamena. Bapak/Ibu bisa bayangkan, 9 jam 15 menit. Negara ini besar sekali. Langsung perbedaannya mencolok sekali, Aceh langsung Papua, Bapak/Ibu akan merasakan negara perbedaannya, keragamannya betul-betul.

Naik pesawat 9 jam 15 menit. Ada yang mengatakan itu kalau dari London sampai Istanbul di Turki melewati enam sampai tujuh negara. Jangan merasa orang Indonesia itu yang ada di Jakarta saja.

Seharusnya sejalan dengan dewasanya usia bangsa kita, kita semakin dewasa pula dalam ber-Bhinneka Tunggal Ika, dalam perbedaan-perbedaan itu. Seharusnya kita semakin terbuka terhadap perbedaan untuk mempercepat kemajuan bangsa kita ini, negara kita ini. Dan seharusnya kita semakin mampu mengelola perbedaan di internal bangsa kita sendiri. Bukan semakin tidak mampu. Seharusnya semakin mampu, semakin dewasa, semakin matang harusnya semakin mampu.

Termasuk semakin mampu mengelola atas hadirnya orang asing yang ingin bekerja sama dengan kita. Dengan catatan menguntungkan bangsa ini. Jangan belum-belum sudah antek asing, antek aseng. Itu yang namanya emosi keagamaan. Bukan cinta keagamaan. Akan saya pakai terus, Pak Quraish.

Kita bisa menyaksikan kemajuan negara-negara di Benua Amerika yang diawali dengan kemampuan mengelola kemajemukan itu. Tapi dalam satu dekade terakhir ini kita juga menyaksikan contoh yang baik dari kawasan Timur Tengah, yaitu yang saya lihat di Uni Emirat Arab, Dubai, Abu Dhabi.

Empat puluh tahun yang lalu di Uni Emirat Arab merupakan negara yang tertinggal. Tingkat melek hurufnya rendah, budaya pendidikannya tertutup dan tradisional. Namun, Uni Emirat Arab sekarang menjadi negara yang sangat makmur dan maju. Income per kapita sekarang telah mencapai USD43.000. Syekh Mohamed pernah bercerita ke saya, di dalam mobil kami berdua, “Presiden Jokowi, kami tahun 60 itu dari Dubai ke Abu Dhabi masih naik unta.” Indonesia saat itu sudah naik Holden dan Impala. Tapi begitu mereka meloncat, begitu sangat cepatnya. Dan juga sovereign wealth fund-nya sekarang ini mencapai USD700 miliar, masuk dalam tiga besar dunia. Sekarang menjadi ikon, icon kemajuan dunia dengan kota termodern dan terindah dan menjadi ajang untuk kemajuan teknologi dunia di sana.

Apa kuncinya? Apakah sumber daya alam? Saya yakin ini bukan yang utama, bukan yang utama. Dalam hal sumber daya alam, Indonesia jelas lebih kaya dibandingkan Uni Emirat Arab. Mereka punya minyak, kita juga minyak. Mereka enggak punya hutan, kita punya hutan dan kayu. Mereka enggak punya tambang, kita punya batu bara, nikel, bauksit, emas, tembaga. Mereka tidak punya lahan subur, kita punya. Mereka tidak punya tambang mineral batu bara dan lain-lain, tadi yang saya sampaikan, kita punya.

Menurut saya salah satu kunci utamanya adalah keterbukaan dan toleransi. Dan itu saya dapatkan langsung dari beliau, Syekh Mohamed. Apa? “Keterbukaan dan toleransi, Presiden Jokowi.” Bahkan tahun ini di sana menyebut sebagai Tahun Toleransi.

Mereka berani mengundang talenta-talenta top dunia yang menjadi CEO dan tenaga ahli yang kemudian satu per satu digantikan oleh warga asli di Uni Emirat Arab. Mengundang puluhan perguruan tinggi ternama dunia, termasuk rektor, termasuk dosen, termasuk guru-guru hebat dari negara-negara lain.

Di sini? Baru ide gagasan. Ada 4.700 akademi, politeknik, universitas, perguruan tinggi. Saya baru ngomong-ngomong sedikit saja, “Gimana kalau kita pakai 3 universitas kita, atau politeknik kita, atau akademi kita pakai rektor asing?” Sebentar, ini belum. Baru berbicara seperti itu sudah langsung, “Presiden Jokowi itu antek asing.”

Dan visi Raja Uni Emirat Arab yang juga sangat tegas. Ingin menjadikan Uni Emirat Arab sebagai Ibu Kota Toleransi dunia.

Beliau banyak bercerita kepada saya karena saat saya jemput langsung Syekh Mohamed ini di airport, di Soekarno-Hatta, saya punya waktu 1,5 jam ngomong-ngomong di dalam mobil, berdua. Waktu saya juga ke sana, dijemput langsung oleh beliau di depan pintu pesawat, disetiri sendiri oleh Syekh Mohamed untuk ke istana beliau, berdua di dalam mobil saya tanya hal-hal yang sangat pribadi, hal-hal yang menjadi kunci mereka maju. Tapi ternyata tidak mudah diterapkan di negara kita karena hal-hal yang tadi saya sampaikan, antek-antek lagi.

Sekali lagi, ini yang perlu kita garis bawahi: visi Raja Uni Emirat Arab yang sangat tegas ingin menjadikan Uni Emirat Arab sebagai Ibu Kota Toleransi dunia

Bapak/Ibu, hadirin sekalian yang berbahagia,
Dengan kata lain, isu kemajemukan bukan semata-mata isu sosial atau politik, bukan. Tetapi penerimaan terhadap kemajemukan juga menjadi isu pembangunan ekonomi. Tanpa adanya penerimaan terhadap kemajemukan, tanpa adanya penerimaan terhadap anggota warga dengan latar belakang yang berbeda-beda, maka masyarakat tersebut akan menjadi masyarakat yang tertutup dan tidak berkembang.

Marilah kita kembalikan lagi kepada semangat berdirinya negara ini, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang mampu mengelola kemajemukan di internal bangsa kita, yang bisa menjadi teladan, menjadi panutan dunia dalam merawat toleransi dan persatuan, dan juga berani terbuka untuk kemajuan bangsa.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Saya sangat menghargai, sangat mengapresiasi atas terselenggaranya Forum Titik Temu ini. Dan dengan mengucap bismillahirahmanirrahim saya resmi membuka Forum Titik Temu: Kerja Sama Multikultural Untuk Persatuan dan Keadilan.

Terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatulah Wabarakatuh,
Om Shanti Shanti Shanti Om,
Namo Buddhaya.