Peresmian Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Tahun 2020

Kamis, 30 Januari 2020
Graha Widya Bhakti Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.

Yang kita hormati bersama, Presiden ke-5 Republik Indonesia Ibu Hj. Megawati Soekarnoputri;
Yang saya hormati, Ketua dan Pimpinan Lembaga-Lembaga Negara hadir di sini, Ibu Ketua DPR RI, Bapak Ketua DPD RI;
Yang saya hormati, para Menko, para Menteri Kabinet Indonesia Maju;
Yang saya hormati, para peneliti dan pegiat IPTEK yang hadir pada siang hari ini;
Yang saya hormati, Bapak Gubernur Banten, Ibu Wali Kota, hadirin dan tamu undangan yang berbahagia.

Kita memiliki masalah-masalah dan persoalan-persoalan bangsa dan kita ingin segera memecahkan masalah-masalah dan persoalan-persoalan itu. Defisit neraca perdagangan khususnya energi, sangat mengganggu kita bertahun-tahun. Daya saing kita yang masih rendah, produksi industri nasional yang berbasis riset dan inovasi juga belum maksimal. Saya memberikan ilustrasi sedikit mengenai Brazil, negara Brazil yang sejak tahun 1970 sudah menggunakan produksi energi bioetanol dan sekarang sudah 100 persen menjadi E100. Saya ingin kita tidak boleh kalah dengan Brazil karena kita memiliki potensi jutaan liter minyak sawit untuk biodiesel. Sekarang ini, kita tahu lahan sawit yang kita miliki, 13 juta hektare, 45 persen milik petani sawit, 55 persen milik perusahaan. Produksinya sekarang sudah 46 juta ton per tahun. Dan alhamdulilah, saat ini kita sudah mampu memproduksi B20 tahun yang lalu, dan tahun ini sudah masuk ke B30. Nah, nanti akan menuju ke B40, B50, dan naik, naik, menuju ke B100.

Ini bukan sesuatu yang mustahil. Kita punya banyak pakar, punya banyak ahli hebat di sektor ini, di banyak institut dan universitas, juga lembaga-lembaga penelitian, baik pemerintah maupun swasta yang antara lain sudah berhasil membuat katalis. Katalis yang mengubah minyak sawit menjadi solar, tadi saya sudah ditunjukkan di pameran di depan. Mengubah sawit menjadi bensin, mengubah minyak kelapa menjadi avtur, ini menurut saya luar biasa. Saya belum pernah bertemu sebelumnya dengan Prof. Subagjo tapi saya sering bertemu di Youtube. Tadi malam saya tanya ke Pak Menteri, “Ini Prof. Subagjo, tim dari ITB datang, ndak?”, Pak Menteri menyampaikan, “Datang Pak, besok datang.” Prof. Subagjo, silakan berdiri. Juga Dr. Melia Laniwati Gunawan, silakan berdiri. Dr. Makertihartha, silakan berdiri, Dr. Rasrendra, semuanya tim dari ITB. Saya minta Prof. Subagjo maju sebentar. Tapi jangan minta sepeda. Jangan minta sepeda, ini urusan yang sangat fundamental sekali yaitu urusan riset.

Saya ingin menanyakan kepada Prof., ini awal-awalnya seperti apa. Kenapa bisa muncul minyak kelapa sawit dicarikan katalis kemudian menjadi B20. Dan itu sebenarnya perintah saya sudah 3 tahun yang lalu agar semua industri-industri kita memakai B20 dan ternyata tidak mudah, memberikan perintah seperti itu dan dilaksanakan di bawah. Dua tahun enggak ada kemajuan apa-apa, enggak ada kemajuan apa-apa, padahal sudah ada Inpresnya. Karena apa? Banyak yang masih senang impor minyak. Dipikir saya enggak tahu? Sehingga betul-betul saya sangat mengapresiasi, menghargai apa yang sudah dilakukan oleh Prof. Subagjo dan tim. Jadi bagaimana Prof. itu, awal-awalnya bagaimana itu? Apa penginnya sudah…, apa mungkin sama dengan yang tadi saya sampaikan? Pengin agar kita tidak impor minyak fosil lagi tetapi ingin semuanya nanti, baik industri, kendaraan, semuanya pakai biodiesel yang green fuel. Silakan, Prof.

Profesor Subagjo:
Baik, terima kasih, Pak Jokowi. Awalnya sebenarnya sudah sangat lama. Sebelumnya, kami mulai ini tahun 1982, Pak.

Presiden RI:
Sudah (sejak) ’82? Tahun ’82?

Profesor Subagjo:
Tahun ’82, ya. Saya baru pulang sekolah tentang katalis lalu mentor saya, Prof. Sudarno berpikir bahwa banyak limbah sawit waktu itu, limbah minyak goreng – itu adalah stearin – waktu itu yang banyak dibuang di Medan dan itu ada murid kami yang dari Medan mengatakan bahwa memang banyak sekali Pak, (limbah minyak goreng) ini dibuang. Kami berpikir bahwa stearin itu atau minyak sawit juga, itu sebetulnya adalah hidrokarbon, maksudnya hidrokarbon itu seperti minyak bumi tetapi di ujungnya ada CO2, nah kalau (stearin) ini diputus, langsung menjadi seperti minyak bumi begitu. Nah, lalu karena kami, saya belajar tentang katalis, diminta mencari katalis yang cocok untuk proses tersebut. Kami lakukan dan memang kami sangat gembira waktu itu, senior-senior kami juga beberapa sangat gembira, reaksi itu menghasilkan cairan yang kadang-kadang baunya seperti solar, tergantung pada kondisi operasinya, maksudnya kalau temperatur tinggi, hasilnya gas, jadi bisa LPG begitu. Kalau temperatur lebih rendah, nanti diperoleh bensin, (temperatur) lebih rendah lagi (diperoleh) kerosin. Kerosin itu bahan baku avtur. (Temperatur) Lebih rendah lagi, bisa (diperoleh) solar begitu, (temperatur) lebih rendah lagi (diperoleh) enggak jadi apa-apa, baru begitu. Nah, jadi mulainya seperti itu, tapi kemudian tentu untuk menghasilkan seperti ini harus bekerja sama dengan industri dan ternyata mencari mitra industri itu sangat sukar dan akhirnya kami menghentikan pemecahan itu, hanya kami punya katalis yang baik untuk proses tersebut. Tahun 2009 kemudian mulai mendengar bahwa ada proses yang untuk menghasilkan yang disebut oleh orang-orang dari luar negeri, green diesel tapi saya sebetulnya tidak ingin membiasakan menyebut green diesel, saya selalu menyebut diesel biohidrokarbon.

Presiden RI:
Diesel?

Profesor Subagjo:
Diesel biohidrokarbon.

Presiden RI:
Diesel biohidrokarbon, nggih.

Profesor Subagjo:
Artinya, diesel yang seperti minyak bumi, jadi hidrokarbon, tapi dari bahan hayati.

Presiden RI:
Hmmm…saya ulang lagi supaya saya enggak keliru. Diesel biohidrokarbon, ya. Nanti akan saya gunakan dalam penyampaian-penyampaian.

Profesor Subagjo:
Ya, jadi itulah yang kemudian sejak 2009, ini karena waktu itu Pertamina akan bekerja sama dengan Korea Selatan untuk mengembangkan proses ini. Saya bilang, kalau proses (ini) melibatkan katalis, sudah jangan bekerja sama dengan yang lain, dengan ITB saja, dengan kami saja.

Presiden RI:
ITB saja cukup, begitu ya, Prof.? Enggak usah dengan negara lain, ITB saja cukup begitu, ya?

Profesor Subagjo:
Benar, karena sejak tahun 2000, sebetulnya kami sudah bekerja sama dengan Pertamina untuk mengembangkan katalis yang digunakan di Pertamina…

Presiden RI:
Sebentar, ini urusan dengan Pertamina ini, sebentar. Pernah enggak, dibantu dalam rangka katalis tadi dari Pertamina?

Profesor Subagjo:
Dibantu Pak, jadi….

Presiden RI:
Dibantu?

Profesor Subagjo:
Iya.

Presiden RI:
Benar?

Profesor Subagjo:
Betul.

Presiden RI:
Banyak atau sedikit?

Profesor Subagjo:
Kami sangat terbantu banyak dan ada alat yang harganya Rp8 miliar itu sekarang ada di laboratorium kami, atas bantuan Pertamina. Jadi….

Presiden RI:
Kalau untuk Pertamina, Rp8 miliar ya kecil.

Profesor Subagjo:
Betul.

Presiden RI:
Itu bukan bantuan lah kalau Pertamina, itu hanya Rp8 miliar, lha wong penemuan besar seperti ini hanya bantuan Rp8 miliar. Kalau yang dari ini…dari dana sawit ada, ndak?

Profesor Subagjo:
Dana sawit juga sangat besar. Jadi, sebelum….

Presiden RI:
Berapa? Sebentar, saya, kita terbuka.

Profesor Subagjo:
Yang terakhir ini, kami dapat bantuan Rp46 miliar.

Presiden RI:
Rp46 miliar tapi juga kecil. Karena dana sawit kita sekarang mungkin sudah mendekati Rp30 triliun. Untuk apa hanya disimpan saja? Saya sudah perintahkan lo, ke menteri saat itu, untuk diperbanyak bantuan ke ITB urusan katalis ini. Rp46 (miliar) menurut Prof. besar, menurut saya….

Profesor Subagjo:
Sebelumnya, kami kalau penelitian dapat dananya kan hanya Rp1 juta, Rp2 juta….

Presiden RI:
Waaah….

Profesor Subagjo:
Begitu lo, Pak.

Presiden RI:
Ini, ini, lebih ngenes lagi kalau dengar kayak begini.

Profesor Subagjo:
Jadi kalau Rp46 miliar pada saat kami terima itu, kami merasa sangat besar. Baiklah, kalau selanjutnya mungkin kami butuh sangat besar, Pak Jokowi.

Presiden RI:
Dipancing begitu langsung keluar butuh besar, begitu lo, Prof. nah….

Profesor Subagjo:
Yang kami sangat penting sekali….

Presiden RI:
Untuk apa, keluarannya apa….

Profesor Subagjo:
…membangun pabrik katalis, jadi sejak 2 tahun saya sudah menginginkan ada pabrik katalis sehingga resep-resep katalis yang kami kembangkan itu tidak akan lepas ke luar negeri. Saat ini, resep-resep itu terpaksa ‘dijahitkan’ katalisnya ke pabrik milik multinasional, jadi di antaranya nanti bisa….

Presiden RI:
Oh, ditiru….

Profesor Subagjo:
…dengan perjanjian walaupun belum pernah. Tapi kalau sudah ada di kepala resep itu, akan pindah ke mana-mana.

Presiden RI:
Bisa pindah ke mana-mana Prof., hati-hati Prof.

Profesor Subagjo:
Nah, jadi sejak 2 tahun, (pabrik) itu enggak jadi-jadi, Pak.

Presiden RI:
Oke, nggih.

Profesor Subagjo:
Bukan karena dana juga, jadi karena aturan ini, aturan itu, jadi….

Presiden RI:
Terima kasih, Prof., terima kasih. Sekali lagi, saya sangat menghargai kerja keras dan produk yang dihasilkan oleh Prof. Subagjo beserta seluruh tim dan ada anundak? Ada foto? Sudah difoto? Oh, ini tadi kan, Prof. di sini baru berdiri 2 menit tapi fotonya sudah jadi. Dan tim juga di sini ada, jangan…meskipun enggak maju tapi fotonya ada. Untuk menunjukkan bahwa kita ini bisa kerja cepat, langsung jadi album seperti ini. Dan ini juga album ini mahal karena di sini ada tulisan ‘Istana Presiden Republik Indonesia’, ini yang enggak bisa beli di sini, ya kan, Prof.?

Profesor Subagjo:
Terima kasih.

Presiden RI:
Mohon maaf, ini juga spontan, baru tadi pagi. Saya berpikir, saya beri apa ya, Prof. Subagjo dengan tim? Tapi karena ya, saya berpikirnya spontan dan mendadak, sudahlah, saya beri uang saja lah gitu. Tapi jangan khawatir Prof., tidak mungkin saya memberi juta, enggak mungkin. Tapi ini bukan…, silakan mau dipakai penelitian, silakan mau dipakai pribadi, silakan. Ini memang hadiah, penghargaan kami untuk Prof. dan tim dalam penelitian B20, B30, dan nanti seterusnya. Ini berbeda ya, yang saya berikan nanti dengan yang diberikan oleh dana sawit maupun Pertamina, ini akan beda. Di sana juga akan saya perintahkan untuk memperbesar apa yang tadi sudah Prof. sampaikan. Di sini lebih kecil karena memang dari saya, enggak mungkin saya memberikan sampai…, kalau dana penelitian tadi, juga dari Pertamina, dari dana sawit, saya pastikan selalu akan terus kita berikan kepada ITB dalam hal ini.

Profesor Subagjo:
Saya boleh berbicara sedikit, Pak Jokowi.

Presiden RI:
Silakan, Prof.

Profesor Subagjo:
Saya sebetulnya kalau tahu bahwa benar-benar Pak Jokowi akan datang. Karena saya sudah lima kali mengejar-ngejar Pak Jokowi.

Presiden RI:
Waduh, peneliti sampai mengejar-ngejar saya.

Profesor Subagjo:
Betul, Pak.

Presiden RI:
Benar?

Profesor Subagjo:
Di laboratorium saya ada gambar saya naik tiang bendera karena itu yang paling cepat bertemu dengan Pak Jokowi. Betul kan, Pak? Jadi 3 hari setelah ada anak SMP naik tiang bendera, bertemu Pak Jokowi. Saya, laboratorium saya, didatangi 10 menteri, 10 menteri sebelum Pak Arifin Tasrif datang. Selalu saya tunjukkan, ini kalau saya tidak bisa bertemu Pak Jokowi, saya mau naik tiang bendera seperti ini. Sekarang saya sudah bertemu Pak Jokowi, saya ingin sebetulnya memberikan peluit agar ditiup oleh Pak Jokowi dan seluruh potensi anak bangsa yang bisa mendirikan pabrik katalis dan pabrik biohidrokarbon tadi, segera bergerak dengan cepat karena saya pikir Pak Jokowi lah yang bisa mempercepat semua, karena saya sudah bertemu 10 menteri Pak, tidak ada yang berbuat apa-apa.

Presiden RI:
Sudah bertemu 10 menteri tapi bergerak?

Profesor Subagjo:
Sepuluh menteri datang ke laboratorium, Pak.

Presiden RI:
Mungkin kurang, kita kan punya 34 menteri. Oke, nggih, setelah ini kita akan bicarakan dalam Ratas, nanti saya akan undang dengan tim, khusus berbicara mengenai katalis, nggih.

Professor Subagjo:
Satu lagi sedikit saja, sebetulnya kami senang bekerja senyap saja karena saya paling khawatir…

Presiden RI:
Ya, setuju.

Profesor Subagjo:
…wartawan kemudian datang, mengabarkan. Kami gembira ada diberitakan di koran-koran tetapi kemudian di koran sudah banyak berita, kita tidak maju-maju, kita yang meniup peluit enggak maju, rugi Pak. Negara lain maju akibat merasa kalah cepat dengan Indonesia, ini memang ada pernyataan dari Malaysia, kita kalah sekarang bekerja sama dengan universitas di China dan mungkin mereka maju kita baru senang-senang, saya diberi selamat. Selamat, selamat, selamat, enggak ada gunanya menurut saya, Pak.

Presiden RI:
Nggih, sekarang yang diperlukan Prof. adalah peluit.

Profesor Subagjo:
Iya, peluit Pak Jokowi.

Presiden RI:
Peluit kita bunyikan siang hari ini, priiittt, sudah. Yang jelas nanti Prof., hadiah yang tadi akan diantar ke ITB karena memang baru dadakan tadi pagi, nggih, terima kasih Prof., sekali lagi.

Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia,
Saya tahu Pertamina saat ini butuh 50 katalis. Sekali lagi, Pertamina itu butuh 50 katalis dan nyaris semuanya impor. Hanya 3 katalis yang mampu kita produksi sendiri, padahal kita punya kemampuan untuk produksi katalis itu, jadi yang disampaikan Prof. nanti akan kita tindaklanjuti dalam rapat terbatas khusus. 

Dengan menggunakan bahan dalam negeri dengan teknologi sendiri dan dengan SDM kita sendiri, ini yang kita inginkan seperti tadi yang sudah disampaikan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri. Arahnya semuanya memang harus seperti itu, dengan membangun industri katalis nasional akan menjamin harga sawit. Hati-hati, bukan urusan impor minyak tapi harga kemarin waktu B20 kita pakai, harga sawit langsung naik, begitu B30 kita pakai lagi harga otomatis semuanya yang berkaitan dengan sawit, naik semuanya. Petani kita mendapatkan keuntungan dari itu, impor minyak kita menjadi turun, neraca transaksi berjalan kita menjadi lebih baik, defisit neraca perdagangan kita juga semakin baik. Arahnya ini, ini efeknya ke mana-mana. Ke defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, impor minyak turun, harga sawit naik, ya seperti ini yang harus diintegrasikan. 

Sekali lagi, dengan membangun industri katalis nasional akan menjamin harga sawit. Enggak bisa kita dimain-mainin oleh negara lain, ada diskriminasi enggak mau beli di Uni Eropa enggak apa-apa, sekarang enggak apa-apa. “Kamu enggak beli enggak apa-apa, saya pakai sendiri.” Kita tidak ada ketergantungan pada mereka. Hal-hal yang seperti inilah yang kita arah dan kita tuju. Dan sekali lagi meningkatkan kesejahteraan petani sawit swadaya yang saat ini menguasai kurang lebih 42-45 persen dari perkebunan sawit nasional. Apalagi jika industri katalis tersebut bisa dibuat dalam skala menengah, bisa dioperasikan oleh kelompok-kelompok petani sawit maka pasokan bahan bakar nabati yang tadi disampaikan oleh Prof. biodiesel…, apa tadi? Lupa lagi baru diberi tahu. Diesel biohidrokarbon. Kalau sudah depannya sudah pakai biodiesel itu keliru pasti. Diesel biohidrokarbon, iya. Maka pasokan bahan bakar nabati bisa langsung diproduksi oleh kelompok-kelompok petani dalam area perkebunan. Ini yang kita inginkan seperti itu, akan mengurangi biaya logistik, akan mengurangi biaya produksi, karena ya apa pun kalau langsung di petani pasti jauh lebih efisien dan lebih murah karena tidak ada transportasi antarpulau dan lain-lain. Dan implikasi nasionalnya, seperti yang tadi yang saya sampaikan, mengurangi defisit neraca perdagangan di sektor energi. 

Sekali lagi ini sebuah hal yang luar biasa, meskipun saya sampaikan bolak-balik mengenai penggunaan B20 ini sudah 3 tahun yang lalu, tetapi memang sudah tidak gampang memaksa untuk memakai B20 dan kemudian B30 tapi sekarang berjalan terus, dan kita harapkan nanti akan semakin banyak sehingga menurunkan impor minyak.

Upaya-upaya anak bangsa seperti ini harus didukung penuh, tidak boleh dihambat, harus dibuat industri manufaktur katalis secara massal. BUMN seperti Pertamina harus lebih berperan besar dalam mendukung pengembangan industri katalis ini, jangan takut dan malah menghindar. Kita ingat, keuntungan Pertamina itu bukan hanya miliar, bukan hanya Rp1-2 triliun, tapi sudah, mungkin terakhir di atas Rp20 triliun. Jadi kalau dipakai untuk riset seperti ini, saya kira tidak ada ruginya. Sekali lagi BUMN seperti Pertamina harus lebih berperan besar untuk mendukung pengembangan industri katalis. Badan Pengelola Dana Sawit juga harus aktif mendukung riset-riset yang sangat berdampak besar seperti ini. Nah, di sinilah peran ­BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) harus bisa mengorkestrasi pengembangan proyek-proyek riset yang sangat strategis seperti ini, yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kesejahteraan rakyat, memecahkan permasalahan bangsa, dan memanfaatkan peluang global bagi kemajuan negara kita, Indonesia.

Bapak/Ibu yang saya hormati,
Saya minta BRIN agar mampu mendeteksi dan mengidentifikasi, mendeteksi dan mengidentifikasi topik-topik riset yang strategis dan inovatif, yang sesuai dengan kebutuhan bangsa. Tadi juga sudah disampaikan oleh Ibu Megawati bahwa riset itu bukan hanya untuk riset, tapi riset untuk kemanusiaan, riset untuk bangsa, riset untuk rakyat, saya kira arah kita harus konkret ke sana. 

BRIN harus menjadi badan intelijen inovasi bangsa, birokrat-birokrat BRIN jangan hanya duduk di kantor, di belakang meja tapi harus turun dan keliling, identifikasi riset-riset inovatif dan strategis, identifikasi masalah-masalah yang ada dari hulu sampai hilir, dan selesaikan itu kesulitan-kesulitan yang ada lewat riset, lewat inovasi.

Oleh karena itu, pertama. BRIN harus segera mengonsolidasikan agenda riset strategis nasional. Apa? Sesuai dengan yang tadi saya contohkan, itu baru di bidang energi. Masih banyak bidang-bidang yang lain yang bisa kita garap. Pangan, bidang pangan, bidang farmasi, bidang pertahanan, teknologi informasi. Minggu depan tadi saya sudah sampaikan ke Pak Kepala BPPT untuk ratas khusus urusan droneDrone ini hati-hati ke depan, kita sudah bisa buat itu, segera dikembangkan. Sekarang yang namanya alutsista (alat utama sistem senjata), entah tank, entah panser, entah itu juga pesawat, kalah dengan yang namanya drone. Coba kita lihat kemarin, peristiwa penggunaan drone yang dipersenjatai, yang lihat videonya coba, setelah menembaki kendaraan militernya, “dap…dap…dap…” masih ada yang lari, 1,2,3,4 masih dikejar “dap…dap…dap…”, sudah. Coba, tank menjadi tidak berdaya. Inilah riset-riset ke depan yang harus kita loncatkan sehingga negara kita tidak tertinggal. Sehingga kita harapkan itu memberikan nilai tambah bagi negara, nilai tambah bagi perekonomian masyarakat.

Yang kedua, lakukan konsolidasi anggaran. Yang kedua, lakukan konsolidasi anggaran. Anggaran riset kita, litbang, kalau kita gabungkan angkanya, saya suruh Menteri Keuangan, coba gabungkan berapa total? Rp27,1 triliun. Ini angka yang besar sekali, duit sebesar ini gede meskipun masih jauh dari yang kita inginkan tapi ini dulu diselesaikan, dikonsolidasikan sehingga menghasilkan hilirisasi riset yang baik. Jangan sampai kita riset, menghasilkan laporan-laporan riset, yang itu ditaruh di almari, tahun depan kita riset lagi dapat laporan, itu ditaruh lagi di almari, bukan itu. Rp27,1 triliun ini uang yang gede. Kalau ini bisa dibereskan, dikonsolidasikan, dan menghasilkan sesuatu, saya janji angka ini bisa lipat dua, bisa lipat tiga, bisa lipat empat. Begitu infrastruktur sudah akan selesai, akan kita geser anggaran infrastruktur itu untuk masuk ke sini, memang kita sudah harus sampai mempersiapkan ini untuk masa depan bangsa kita. Angka itu memang, angka ini memang belum banyak dibandingkan dengan negara-negara maju. Namun jika kita manfaatkan optimal, fokus pada tema-tema strategis yang solutif, saya yakin hasil riset kita akan berdampak pada kemajuan bangsa. Urusan angka ini buat saya tidak sulit tapi saya pasti bertanya, hasilnya apa?

Ketiga, konsolidasi aktor dan jejaring yang harus terlibat dalam proyek inovasi strategis nasional tersebut. Ajak kerja sama semua pihak, tidak hanya mengkonsolidasikan 329 unit riset milik kementerian dan lembaga tetapi juga bisa meningkatkan peranserta swasta dalam riset-riset unggulan. Kita bisa berikan insentif pada swasta yaitu lewat super deduction tax. Apalagi yang saya lihat terakhir kemarin saya di Korea Selatan, tren di negara-negara maju, perisetnya hampir sebagian besar bekerja di perusahaan swasta. Ini yang saya lihat.

Bapak/Ibu yang saya hormati,
Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah mengenai perpindahan ibu kota. Ini bukan hanya perpindahan gedung pemerintah, bukan perpindahan gedung-gedung kementerian, atau berpindah lokasi tetapi ini adalah momentum untuk kita meng-install sistem, meng-install cara kerja baru, dan juga transformasi ekonomi baru Indonesia menuju sebuah negara industri yang maju, yang berbasis riset dan inovasi. Saya telah minta di ibu kota baru nanti disediakan klaster khusus untuk pengembangan riset dan inovasi, seperti Silicon Valley yang di dalamnya ada pusat riset dan inovasi kelas dunia dan juga disediakan ruang bagi world class university, ini jadi klaster di situ, menjadi pusat pengembangan talenta-talenta yang kita miliki, menjadi hub, menjadi titik temu, menjadi pusat kolaborasi talenta-talenta unggul dunia, dan talenta-talenta unggul yang kita miliki. Untuk itu, saya berikan video gambaran ibu kota baru kita di Kaltim. Green citysmart city, banyak orang jalan kaki, banyak orang naik sepeda, mobil pakai electric vehicle, transportasi massal juga sama, electric dan autonomous.  

Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.