Pidato Kunci Presiden Republik Indonesia Di Kompas 100 CEO Forum

Kamis, 18 November 2021
Istana Negara, Jakarta

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Shalom,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam Kebajikan.

Yang saya hormati, para Menteri Kabinet Indonesia Maju;
Yang saya hormati, para Duta Besar yang hadir;
Yang saya hormati, CEO Kompas Gramedia, Bapak Lilik Oetama beserta para CEO, Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), ketua asosiasi yang hadir;
Bapak/Ibu hadirin, undangan, yang berbahagia.

Dunia sekarang ini betul-betul berada pada ketidakpastian yang tinggi, berada pada posisi keragu-raguan juga yang tinggi, dan berada pada kompleksitas masalah yang juga tinggi dan terus-menerus muncul masalah-masalah yang memang mau-tidak mau harus dihadapi, baik yang berkaitan dengan perubahan iklim yang dikhawatirkan akan memunculkan krisis pangan. Semua negara sekarang ini juga takut karena inflasi, di negara-negara, semua negara naik. Orang juga takut dengan tapering off dan bingungnya negara-negara sekarang ini yang berkaitan dengan global supply chains yang ternyata kita ketergantungan hanya pada satu, dua, tiga negara, dan juga kesulitan kontainer hampir semua negara. Inilah disrupsi yang memang sangat mengacaukan dan kompleksitasnya juga makin tambah, makin tambah.

Oleh sebab itu, kita semuanya harus mengantisipasi, harus mempersiapkan diri, harus hati-hati, tetapi juga tidak usah terlalu ketakutan. Yang paling penting menurut saya, kunci ekonomi di tahun 2022 hanya satu kuncinya: kita bisa mengendalikan yang namanya Covid-19. Kuncinya hanya itu. Kalau tidak bisa kita kendalikan, ya ekonominya akan turun dan terpuruk lagi. Saya kira negara-negara lain mengalami gelombang satu, gelombang dua, gelombang tiga, masih tambah lagi gelombang keempat. Inilah sekali lagi yang harus kita hati-hati, penuh kehati-hatian, saya selalu sampaikan kepada menteri, kepada daerah, bukanya harus tahapan, tahapan, tahapan, tidak usah tergesa-gesa lalu buka semuanya. Dilihat bagaimana positivity rate-nya seperti apa, belum cukup, lihat juga BOR (Bed Occupancy Rate)-nya di rumah sakit seperti apa, cek lagi testing dan tracing di setiap daerah seperti apa, semuanya. Memang kita harus hati-hati.

Dan perkembangan Covid-19 hari ini, saya kira kita patut syukuri, kita bisa kembali ke pertengahan (bulan) Juli yang lalu, saat kasus harian kita 56 ribu (kasus). Betapa sangat meloncatnya saat itu, hanya dalam waktu dua-tiga minggu langsung berada di puncak, 56 ribu (kasus). Rumah sakit pontang-panting urusan oksigen, urusan obat. Tapi memang kuncinya menurut saya adalah gotong-royong, kerja bersama-sama, solidaritas antarseluruh elemen bangsa, kuncinya ada di situ dan itu sudah kita tunjukkan di bulan Juli, Agustus, September dan kita bisa melakukan itu dan sekarang, kemarin, kasus harian sudah berada di angka kurang lebih 500, 400, 300 (kasus) dalam seminggu ini. Ini yang patut kita syukuri.

Tapi hati-hati, perkembangan Covid-19 di negara-negara lain. Coba kita lihat Amerika Serikat, lihat Inggris, lihat India, lihat negara kita, Indonesia, berada di sebelah mana. Ini yang patut kita syukuri.

Kemudian terus juga saya sampaikan, ini juga menjadi kunci, vaksinasi. Kecepatan vaksinasi kita, percepatan vaksinasi kita, dan kita ini sekarang memang antarprovinsi, antarkabupaten/kota berlomba untuk menunjukkan saya level 1, saya level 2. Ini juga bagus dalam rangka berkompetisi antarprovinsi, antarkabupaten dan kota. Vaksinasi juga sama, saya sudah 60 persen, saya sudah 70 persen, saya sudah 80 persen. Ini juga bagus, berkompetisi untuk hal yang baik.

Sekarang, sampai hari ini, kita sudah suntikkan 219 juta dosis, jumlah yang tidak sedikit. Artinya, nyuntik 219 juta kali itu bukan hal yang mudah. Bayangkan. Dan negara kita juga bukan negara dengan geografis yang gampang, 17 ribu pulau, membawa vaksin pakai sepeda motor, membawa vaksin lewat sungai naik perahu. Jangan membayangkan seperti negara-negara lain. Ini negara yang paling sulit manajemennya, manajemen logistiknya sulit, manajemen transportasi juga sulit. Bukan hal yang mudah. Sehingga angka 219 juta dosis yang sudah kita suntikkan dan akhir tahun ini kita harapkan sudah berada di angka mungkin 280-290 juta (dosis vaksin). Dosis satu sudah di 63 persen.

Kemudian kalau kita lihat, kita bisa mengendalikan ini, mengendalikan Covid-19, pegang betul Covid-19, ekonominya insyaallah akan merangkak naik dan indikator itu sekarang kelihatan. Kita lihat indikator-indikatornya. Untuk konsumsi misalnya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sudah kembali lagi pada posisi sebelum kita kena Covid-19, sudah di angka 113,4, sudah naik. Dan saya yakin kalau kondisinya seperti ini terus, itu akan naik terus. RSI-nya, Retail Sales Index-nya juga menguat seiring dengan peningkatan mobilitas di 5,2 persen.

Di sisi produksi juga bisa kita lihat angka-angkanya. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufacture juga sudah melampaui dari sebelum pandemi. Sebelum pandemi saya ingat 51, sekarang sudah berada di angka 57,2. Artinya apa? Manufaktur sudah berproduksi. Kenapa berproduksi? Karena konsumen meminta, ada demand di situ. Enggak mungkin enggak ada demand, dia berproduksi, sehingga kita berada di 57,2. Permintaan tidak hanya dalam negeri, tetapi juga ekspor. Jadi dilihat kita, angka ekspor kita naik 53 persen bulan ini. Impor juga naik 51 persen. Impornya artinya bahan baku, bahan penolong itu. Ini hal-hal yang positif yang harus kita pertahankan terus dengan cara apa? Covid-19 dikendalikan benar.

Kemarin saya lihat ada lima provinsi yang naik, naik sedikit saja, hati-hati ini, ini harus dikejar, turun, turunkan lagi, kirimkan tim ke sana. Karena kita betul…takut betul, naik sedikit saja sudah…kalau tidak kita kejar, kita lakukan sesuatu di provinsi itu, naik, naik, naik, tahu-tahu kayak bulan Juli itu hanya dalam waktu dua-tiga minggu tidak terkendali langsung, meloncat ke 56 ribu (kasus).

Dan, alhamdulillah ini yang paling penting, sebagai fondasi, infrastruktur kita ini satu demi satu sudah mulai selesai. Jalan tol dalam enam tahun ini telah selesai 1.640 kilometer, kalau non-jalan tol sudah 4.600 kilometer. Bandar udara kita juga telah bangun yang baru 15 bandara baru dan 38 ekspansi dan perbaikan bandara lama. Pelabuhan, kita telah bangun 124 pelabuhan baru. Bendungan juga telah kita bangun dalam rangka ketahanan pangan kita, 22 bendungan sampai sekarang dan nanti sampai (tahun) 2024, perkiraan kita mungkin 65 bendungan bisa kita selesaikan. Inilah saya kira sebuah fondasi dalam jangka menengah dan panjang yang penting dalam rangka kita menapak pada kemajuan negara kita, Indonesia.

Dan, saya sudah sampaikan kepada provinsi, kabupaten, dan kota, agar jalan-jalan yang sudah kita bangun ini, misalnya jalan tol ini, segera dihubungkan dengan kawasan-kawasan pertanian, kawasan pariwisata, kawasan perkebunan, kawasan industri, itu tugasnya provinsi, kabupaten, dan kota.

Kemudian yang kedua, kebijakan kita mengenai hilirisasi, ini akan kita teruskan. Kalau sudah kita setop nikel, nikel setop. Meskipun kita dibawa ke WTO oleh EU, ya silakan, enggak apa-apa, ini nikel kita kok. Dari bumi negara kita kok, silakan. Memang kemarin waktu di G20, banyak negara-negara yang menyampaikan kepada saya mengenai nikel itu. Lo, saya sampaikan lo, kita ingin membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya di Indonesia, kalau saya buka nikel dan saya kirim raw material, kita kirim raw material dari Indonesia ke Eropa, ke negara-negara lain, yang buka lapangan kerja mereka, dong. Kita enggak dapat apa-apa. Tapi kalau mau kerja sama, ayo. Kerja sama setengah jadi di Indonesia enggak apa-apa, nanti setengah jadi dikirim ke negaramu jadikan barang jadi, enggak apa-apa kok, kita terbuka. Tapi bikin di sini, invest di sini. Jadi kita enggak menutup diri kok, kita terbuka. Tapi kalau kita suruh kirim bahan mentah terus, ndak, ndak, ndakndak, ndak, setop. Jangan berpikir Indonesia akan kirim bahan mentah. Nikel pertama, sudah setop. Tahun depan mungkin bisa setop bauksit, kalau smelter kita siap, setop bauksit sehingga kita bisa membuka lapangan kerja, hilirisasi, industrialisasi di negara kita. Bauksit sudah? Tahun depannya lagi setop tembaga, karena smelter kita di Gresik sudah mungkin hampir selesai, setop.

Kenapa kita lakukan ini? Ya, kita ingin nilai tambah, kita ingin added value, kita ingin ciptakan lapangan kerja yang sebanyak-banyaknya, dan itu sekarang mulai disadari oleh negara-negara lain. Mereka mau tidak mau harus invest di Indonesia atau berpartner dengan kita. Pilihannya hanya itu saja. Silakan mau invest sendiri bisa, mau dengan swasta silakan, mau dengan BUMN silakan, kita terbuka. Tapi jangan kamu tarik-tarik kita ke WTO gara-gara kita setop kirim raw materialndak, ndak. Dengan cara apa pun akan kita lawan. Contoh nikel, nikel ore, kalau jadi besi baja, nilai tambah itu bisa 10 kali lipat, sehingga kita ingat, barang ini lompatan ekspor kita tinggi itu sebetulnya dari sini. Sampai akhir tahun, perkiraan saya bisa US$20 miliar karena di bulan Oktober ini sudah US$16,5 miliar. Akhir tahun perkiraan saya, estimasi saya bisa US$20 miliar, hanya dari kita setop nikel.

Dan perkiraan saya kalau nanti jadi barang-barang yang lain, perkiraan saya bisa US$35 miliar, hanya dari satu barang. Begitu bauksit nanti juga sama, begitu tembaga juga sama. Kenapa berpuluh-puluh tahun kita tidak lakukan ini? Sehingga nanti neraca perdagangan kita baik, neraca transaksi berjalan kita menjadi makin baik.

Saya berikan contoh, ini yang besi baja, ini yang menyebabkan defisit perdagangan kita dengan RRT itu tinggi gara-gara ini. Kita di (tahun) 2018 itu minus US$18,4 miliar, (tahun) 2020 sudah minus US$7,85 (miliar), langsung turun. Ini dari mana ini, (tahun) 2020 kok turun? Dari besi baja, dari nikel yang jadi barang itu. Di (tahun) 2021 sampai (bulan) Oktober ini, tinggal minus US$1,5 miliar. Nanti tahun depan, 2022, saya yakin kita sudah plus, sudah surplus perdagangan kita dengan RRT, saya yakin itu.

Nah, kalau kita lakukan itu untuk bauksit, untuk tembaga, untuk timah, rare earth semuanya, Bapak-Ibu bisa bayangkan, devisa kita nanti akan seperti apa. Inilah strategi yang kita semuanya harus sama, jangan ada yang, “Pak, ini kita enggak bisa ekspor lagi nikel, harganya pas baik.” Iya, tapi dalam strategi besar negara, kita memerlukan ini. Kita tidak berbicara perusahaan per perusahaan. Tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana ini dilakukan hilirisasi, industrialisasi, tetapi yang lebih penting lagi bagaimana mengintegrasikan ini. Nikel terintegrasi dengan tembaga, terintegrasi dengan timah, terintegrasi dengan bauksit, semuanya. Kalau terintegrasi nanti, barang jadinya akan betul-betul dari kita, semuanya, bahannya. Mau mobil listrik, electric vehicle (EV) semuanya dari kita, dan barang-barang yang lainnya. Rare earth itu untuk semiconductor, semuanya dari sini, mau-tidak mau orang akan datang untuk membangun, dan sudah mulai orang sadar, begitu kita ngomong setop, setop, setop, mulai karena rare earth-nya ada di sini.

Contoh lagi stainless steel yang dibikin jarum suntik. Demand dari dunia untuk ini, itu US$10 miliar sekarang ini, jarum suntik US$10 miliar. Kita ini impor banyak sekali, enggak tahu berapa juta jarum suntik. Sebentar lagi kita akan bisa bikin ini, karena memang barang itu kita setop, mau tidak mau orang harus bikin di sini dan sudah. Sebentar lagi kita sudah bisa mengekspor jarum suntik, enggak tahu berapa miliar nanti produksinya. Inilah yang tadi saya sampaikan, mengintegrasikan itu, ini.

Belum yang asphalt untuk lithium battery dan lain-lain. Artinya kita harus optimis bahwa dengan menyetop ekspor raw material ini, kita akan mendapatkan keuntungan yang lebih, membuka lapangan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya.

Kemudian yang kedua, kita akan mengarah kepada yang namanya ekonomi hijau, green economy, karena kita mempunyai kekuatan besar juga di sini dan strategi ini harus mulai ditata karena orang nanti, (tahun) 2030 nanti, Eropa, Amerika mungkin sudah mulai setop, enggak mau terima lagi barang-barang yang berasal dari energi fosil, enggak mau. Itu undang-undang, mereka akan siapkan itu.

Di G20, omongan kita juga hanya itu-itu saja, sudah, orang larinya ke sini semuanya, ke green economy, ke green economy, dan kita sadar kita mempunyai kekuatan besar di ekonomi hijau ini. Oleh sebab itu, nanti bulan depan kita akan memulai membangun green industrial park di Kalimantan Utara yang energinya dari green energy, dari Sungai Kayan. Kita ini memiliki, baru satu sungai, Sungai Kayan ini kurang-lebih nanti bisa memproduksi kurang-lebih 11 ribu sampai 13 ribu megawatt. Baru satu sungai. Indonesia ini memiliki 4.400 lebih sungai besar dan sungai sedang, 4.400 lebih. Kita bicara baru satu sungai, Sungai Kayan. Sungai Mamberamo itu bisa kira-kira 24 ribu megawatt. Ini baru dua sungai. Kalau 4.400 sungai ini dilarikan ke hydropower, kita bisa bayangkan. Baru yang namanya hydropower.

Belum yang kedua, ini juga green lagi, ini green, yang kedua green lagi, geotermal. Kita memiliki 29 ribu megawatt kalau ini dikerjakan. Belum kita urusan angin, bayu, urusan arus bawah laut, gede banget. Belum bisa ngitung yang ini. Inilah kekuatan yang harus kita sadari dan segera kita manfaatkan untuk ke depan, anak cucu kita. Kekuatan ini yang ingin kita siapkan dan sudah nanti di bulan depan ini kita akan mulai tadi green industrial park, satu dulu. Begitu ini jalan, ini sudah mengantre, yang antre pengin masuk, karena apa? Energinya hijau. Tapi butuh investasi yang sangat besar dan kita enggak punya kemampuan sehingga swasta silakan masuk.

Kemudian yang ketiga, yang berkaitan dengan digital economy. Kita juga punya kekuatan di sini, punya pasar besar, dan sekarang ini kita memiliki startup lebih dari 2.000, tepatnya 2.229 startup dan potensi ekonomi digital kita sampai (tahun) 2025, US$124 miliar, kurang-lebih. Gede banget. Oleh sebab itu, ini juga harus disiapkan dan saya sudah berikan target dua tahun. Kalau lepas dua tahun, sudah, kita kedahuluan oleh negara lain. Sehingga peta jalannya harus kita miliki. Bagaimana menyiapkan infrastruktur digitalnya, bagaimana menyiapkan pemerintahan yang juga digital, bagaimana menyiapkan setelah itu, ekonomi digitalnya, kemudian masyarakat yang digital itu seperti apa sehingga muncul sebuah ekosistem besar, digital economy.

Memang butuh kerja besar, infrastruktur digital, kita butuh fiber optik, butuh micro web link, butuh satelit, butuh BTS (base transceiver station), butuh semuanya. Butuh infrastruktur hilirnya, pusat data, data centre, ini cepat-cepatan, kalau ndak, negara lain akan ambil. Percaya saya. Kita hanya punya waktu hanya dua tahun menyiapkan ini, cepat-cepatan. Regulasi-regulasi kita yang terlambat terus, fintech-nya sudah lari, regulasinya belum ada. Ini kerja-kerja dengan kecepatan ini sekarang yang kita perlukan.

Kemudian yang paling penting adalah SDM, kebutuhan ini adalah kebutuhan besar untuk membangun ekonomi digital, SDM tingkat dasar, SDM tingkat menengah, urusan IoT (internet of things)cloud computingbig data, kemudian…ya kita memerlukan sebuah digital leadership academy yang menyiapkan betul-betul. Sehingga saya sampaikan, sudahlah kerja sama, segera cari partner, kerja sama. Kemarin sudah mulai ketemu dengan Oxford, dengan Harvard, dengan NUS, dengan Tsing Hua, sudah, kerja sama sudah. Enggak mungkin kalau kita ingin cepat itu kemudian kita sendirian, enggak mungkin, sekarang ini, sudah. Sehingga segera kita harus yang namanya ekosistem digital itu betul-betul bisa terbentuk dan bisa segera bisa kita jalankan.

Saya rasa itu gambaran yang ingin saya sampaikan.

Terima kasih.

Saya tutup.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.