Pengarahan Presiden Republik Indonesia Kepada Dewan Komisaris Dan Direksi PT Pertamina Dan PT PLN (Persero)

Selasa, 16 November 2021
Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya.

Yang saya hormati, para Menteri Kabinet Indonesia Maju, hadir bersama saya, Pak Menteri BUMN, Pak Menteri Sekretaris Negara, dan juga Pak Menteri Investasi;
Yang saya hormati, para Direktur Utama beserta seluruh Direksi serta para Komisaris yang hadir dari PLN dan juga dari Pertamina.

Saya mengundang siang hari ini, karena saya ingin memberikan, pertama, sebuah gambaran adanya perubahan global yang begitu sangat drastis, yang itu ke depan nanti menyangkut tugas Bapak/Ibu sekalian untuk mengarahkan kapal besar ini menuju ke sebuah tempat yang tidak keliru. Dan yang kedua, saya juga ingin sedikit mengevaluasi, baik mengenai penugasan. Dan yang ketiga, yang berkaitan dengan investasi. Itu saja mungkin yang ingin saya sampaikan pada siang hari ini.

Yang pertama, kita tahu, baik pembicaraan di G20, juga pembicaraan di Glasgow – di COP26, semakin hari, semakin ke sana, semakin ke sana, arahnya itu sudah bisa ditebak bahwa suatu saat yang namanya energi fosil, penggunaan mineral fosil, itu pada suatu titik akan disetop. Padahal kondisinya adalah misalnya PLN, ini penggunaan batu baranya masih sangat besar sekali. Pertamina juga bisnisnya berada pada posisi bisnis minyak dan gas yang mau tidak mau, itu juga akan terkena imbasnya kalau ke depan itu mengarahnya, semuanya, ke mobil listrik yang saya pastikan akan segera dimulai di Eropa dan negara-negara lainnya, dalam bentuk…sekarang ini sudah mulai dalam bentuk undang-undang, sudah dalam bentuk regulasi. Artinya bukan karena B2B (business-to-business) atau karena bilateral, ndak, mereka akan memiliki itu.

Sehingga, kita semuanya harus betul-betul bersiap-siap. Memang kita tahu bahwa transisi energi ini memang tidak bisa ditunda-tunda. Oleh sebab itu, perencanaannya, grand design-nya, itu harus mulai disiapkan. Tahun depan kita akan apa, tahun depannya lagi akan apa, lima tahun yang akan datang akan apa, sepuluh tahun yang akan datang akan setop, misalnya. Sudah harus konkret dan jelas dan detail, bukan hanya makronya tetapi detail rencana itu ada. Di Pertamina ada, di PLN juga ada, harus ada. Dan, waktu yang masih…rentang waktu yang masih ada ini, ya gunakan sebaik-baiknya untuk memperkuat fondasi menuju ke transisi tadi. Dan memang untuk kepentingan yang lebih baik, untuk anak-cucu kita.

Jadi mau tidak mau, yang namanya transisi energi menuju ke sebuah energi hijau itu harus. Enggak ada lagi alasan, Pertamina, “Wah, enggak Pak, ini enggak mungkin kita tahun ini, Pak, tahun ini”, itu sudah enggak bisa tawar-menawar. PLN, “Enggak Pak, ini kita tetap harus pakai batu bara, Pak, karena harganya coal itu lebih murah”, ya, itu tugas Saudara-saudara untuk mencari teknologi yang paling murah yang mana. Tugasnya ke situ dan ini adalah kerja cepat-cepatan. Karena siapa yang bisa mengambil peran secepatnya, itu yang akan mendapatkan keuntungan.

Saya melihat, misalnya, sekarang ini total energy supply itu 67 persen, angka yang ada di saya, 67 persen itu disuplai oleh batu bara (coal)Fuel itu 15 persen. Nah, kalau kita gas 8 persen. Lah, kalau kita bisa mengalihkan itu ke energi yang lain, misalnya mobil diganti listrik semuanya, gas rumah tangga diganti listrik semuanya, karena di PLN oversupply. Artinya, suplai dari PLN terserap, impor minyak di Pertamina menjadi turun. Gol besarnya adalah negara ini akan memperoleh keuntungan dalam bentuk neraca pembayaran kita yang sudah berpuluh-puluh tahun kita tidak bisa menyelesaikan karena problemnya, impor minyak kita terlalu besar sekali. Dan itu memengaruhi currency kita, memengaruhi yang namanya kurs dolar kita karena setiap bulan, Pertamina harus menyediakan, harus beli dolar di pasar dalam jumlah yang tidak kecil, besar sekali.

Oleh sebab itu, kenapa kita ingin mendorong yang namanya mobil listrik dan kompor listrik. Tapi problemnya di situ ada. Nah, itu tugas Bapak, Ibu, Saudara-saudara sekalian untuk tahapannya seperti apa, mana yang bisa cepat, mana yang harus tahun depan, mana yang harus tahun depannya lagi. Larinya ke negara. Kalau ini enggak diselesaikan, sampai kapan pun, neraca pembayaran kita enggak akan beres. Ini logika-logika itu yang semua kita harus mengerti hitung-hitungannya. Bukan hanya khusus untuk PLN sebagai perusahaan BUMN, Pertamina sebagai perusahaan BUMN, ndak. Saudara-saudara ini adalah masih dalam lingkup badan usaha yang dimiliki oleh negara. Jadi artinya, kepentingan negaranya ada meskipun profesionalisme untuk EBITDA-nya (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) agar baik, keuntungannya agar baik, ya. Tapi sekali lagi, masih ada beban yang namanya penugasan di Pertamina maupun di PLN.

Jadi, misalnya, khusus untuk PLN. Memang harus dibuka bagaimana transisi energi ini bisa segera dilakukan. Ada target, misalnya tahun ini harus gol, (tahun) 2022 misalnya, karena tinggal sebulan ini, kan. Tahun 2022, misalnya, 5.000 megawatt harus geser dari coal ke…bisa hydropower, bisa geotermal, bisa ke solar panel, silakan. Itu tugas Saudara-saudara semuanya. Tapi memang harus sudah ada tahapan-tahapan seperti itu. Tapi juga di sini ada gap, karena ini murah, yang ini agak mahal, lah gap-nya ini gimana caranya menyelesaikan? Karena nanti akan banyak yang namanya investasi, karena kita kemarin bicara dengan Boris Johnson (Perdana Menteri Inggris), dengan Joe Biden (Presiden Amerika Serikat) mengenai ini. Negara-negara gede jangan hanya bicara saja, tapi ini ada problem, gap ini, siapa yang menanggung, siapa yang harus menyelesaikan? Kalau negara berkembang enggak mungkin, jangan hanya dikte, menyuruh-nyuruh, enggak bisa kita. Saya sampaikan apa adanya. Nah, mereka kelihatannya sudah mau. Dari janji setiap tahun US$100 miliar untuk semuanya, untuk seluruh dunia, setiap tahun. Jangan hanya memberikan bayangan angka tapi duitnya enggak nongol, kita ngomong blak-blakan saja.

Ini yang harus mulai disiapkan, mana yang bisa digeser ke hydro, mana yang bisa digeser ke geotermal, kemudian mana yang bisa digeser ke surya, mana yang bisa digeser ke bayu, semuanya mulai diidentifikasi dan mulai di…karena kan ditekan, kita. “Jangan berinvestasi di Indonesia karena masih menggunakan (energi/mineral) fosil.” Bank Dunia, IMF, “Jangan beri bantuan ke Indonesia karena masih menggunakan (energi/mineral) fosil,” menekannya mesti kayak begitu. Ini yang harus kita antisipasi.

Kemudian yang berkaitan dengan investasi. Saya melihat, sebetulnya investasi yang ingin masuk ke Pertamina, ke PLN, ini mengantre dan banyak sekali. Tapi ruwetnya, ruwetnya itu ada di birokrasi kita dan juga ada di BUMN kita sendiri. Terus saya…saya ini orang lapangan ya, saya kadang-kadang pengin marah untuk sesuatu yang saya tahu tapi kok sulit banget dilakukan. Sesuatu yang gampang tapi sulit…kok sulit dilakukan, kok enggak jalan-jalan. Posisi-posisi ini yang harus terus diperbaiki dengan profesionalisme yang Bapak, Ibu, Saudara-saudara miliki.

Setiap penugasan itu harus dihitung konsekuensinya. Bagi PLN, berarti tarif seperti apa. Bagi Pertamina, terutama untuk Premium dan elpiji (LPG – liquified petroleum gas) seperti apa. Dan itu disampaikan transparan dan terbuka, blak-blakan, dengan angka-angka, dengan kalkulasi, dengan hitungan-hitungan. Tapi yang logis. Karena penugasan, terus wah, mikir-nya enggak dicek, enggak dikontrol, ya itu nanti kalau mau ke sekuritisasi, akan ketahuan, harganya kemahalan, harganya sulit untuk disekuritisasi. Karena apa? Ya itu, mentang-mentang ada penugasan, terus numpang. Ini yang harus kita hindari. Kalau kebangetan, ya akan saya lakukan tindakan.

Artinya, PLN (dan) Pertamina harus menjaga tata kelola dari setiap penugasan yang ada. Jangan, sekali lagi jangan numpangi, jangan bersembunyi atas nama penugasan, sehingga tata kelolanya tidak efisien, procurement-nya tidak benar. Ini yang harus dihindari, yang namanya penugasan itu. Kelemahan BUMN itu, kalau sudah ada penugasan itu, ini menjadi tidak profesional. Ada di situ, titik lemahnya ada di situ, sehingga profesionalismenya menjadi hilang.

Kembali ke investasi, jadi keputusan investasi boleh oleh perusahaan, tetapi pemerintah juga memiliki strategi besar untuk membawa negara ini ke sebuah tujuan yang kita cita-citakan bersama. Sebuah rencana besar, negara itu juga punya. Itulah pentingnya antara profesionalisme dan kepentingan negara. Kepentingan perusahaan dan negara ini bisa berjalan beriringan, sehingga sekali lagi tadi saya sampaikan, Saudara-saudara menyampaikan risiko-risikonya, menyampaikan konsekuensinya, menyampaikan kalkulasinya, menyampaikan hitung-hitungannya dalam melihat setiap penugasan itu untuk memberikan dukungan kepada pemerintah terhadap rencana besar yang ingin kita bangun. (Untuk) Pertamina, tadi sudah saya sampaikan. (Untuk) PLN, tadi sudah kita sampaikan.

Kalau sudah ada rencana dan sudah kita sepakati, jangan mengulur-ngulur. Sekarang ini yang namanya perubahan itu setiap hari berubah, setiap minggu berubah. Penyesuaian itu kadang-kadang cepat sekali, sehingga ada rencana besar yang mungkin setiap saat bisa berubah karena memang dunianya berubah, teknologi berubah. Dan kesempatan itu, sekali lagi kesempatan untuk investasi di Pertamina, kesempatan untuk investasi di PLN itu terbuka sangat lebar kalau Saudara-saudara terbuka, membuka pintunya juga lebar-lebar.

Keterbukaan itu yang saya inginkan, dan diinginkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja. Saya berikan contoh Pertamina misalnya, sudah bertahun-tahun yang namanya Rosneft itu di Tuban itu ingin investasi, tapi enggak mulai-mulai. Sudah mulai, saya ngerti, tapi Rosneft-nya pengin cepat, tapi kitanya enggak pengin cepat. Ini investasi yang gede sekali, Rp168 triliun, tapi realisasi baru kira-kira Rp5,8 (triliun). Terakhir, alasannya ada saja: minta kereta apilah, minta jalan tollah. Baru mulai berapa persen Rp5 triliun itu? 5 persen saja belum ada. Enggak ada masalah kok. Memang fasilitas seperti itu pemerintah yang harus membangun. Enggak ada masalah. Sampaikan, “Kita ini ada masalah karena ini.” Tapi kan problemnya bukan itu. Problemnya comfort zone. Zona nyaman, itu yang ingin kita hilangkan. Zona rutinitas, itu yang ingin kita hilangkan. Enggak bisa lagi kita masih senang dengan comfort zone, sudah enggak bisa lagi.

Di dekatnya lagi ada TPPI, juga sama. Investasinya US$3,8 miliar. Juga sudah bertahun-tahun ini, sebelum kita udah ada, kemudian ada masalah, belum jalan-jalan juga. Saya perintah. (Setelah) saya dilantik, itu langsung saya ke TPPI lho. Setelah saya dilantik (tahun) 2014, saya langsung ke TPPI, karena saya tahu barang ini kalau bisa jalan, itu bisa menyelesaikan banyak hal. Ini barang substitusi impor itu ada di situ semuanya, semuanya. Turunan dari ini banyak sekali yang petrokimia (petrochemicals) di situ.

Waktu saya ke sana yang terakhir, Bu Dirut cerita itu, ya saya bentak itu karena memang benar. (Saya) diceritain hal yang sama gitu lho, “Bu, enggak, enggak, enggak. Saya enggak mau cerita itu lagi. Saya sudah dengar dari dirut-dirut sebelumnya.” Saya blak-blakan memang, biasa. Tender sudah dua kali, sudah bolak-balik, (tapi) diulang-ulang terus. Dan progresnya itu saya ikuti. Jangan dipikir saya enggak ikuti. Kita ngerti, (tender) satu dan dua tadi kita ngerti.

Negara itu penginnya, kita itu penginnya neraca kita, neraca transaksi berjalan kita baik, neraca perdagangan kita baik, impor enggak banyak karena kita bisa produksi sendiri, karena kita punya industrinya, kita punya mesinnya, kita punya bahan bakunya. Kok enggak kita lakukan, malah impor?! Itu lho yang saya sedih.

Karen nanti yang hilang banyak banget ini dari barang ini (kalau) jadi. Yang hilang akan banyak banget itu. Impor-impor itu (akan) hilang banyak, (akan) hilang semua itu, bisa hilang semuanya. Terutama yang berkaitan dengan petrokimia (petrochemicals), banyak sekali dan segala turunannya (akan hilang). Saya sudah ke TPPI. Turunannya sampai segitu banyak. Saya geleng-geleng (kepala) betul. Barang kayak gini enggak cepat-cepat dijalankan.

Kalau saya, 24 jam penuh saya kerjain agar ini segera jalan, Pertamina dapat keuntungan dari situ, negara dapat keuntungan dari substitusi impornya, kemudian akhirnya neraca perdagangan kita baik, neraca transaksi berjalan kita menjadi baik. Rampung kita. (Kebutuhan) currency (dolar) kita bisa anjlok kalau ini bisa kita selesaikan. Tidak setiap bulan kita harus nyiapin dolar untuk membayar barang-barang impor tadi.

Di PLN juga, kembali dulu ke elpiji dulu. Kalau DME (Dimethyl ether) ini bisa, hitung-hitungannya saya sudah dengar, kalau gas itu kan kita berapa? US$800. DME ini kalau hitung-hitungannya investor, itu bisa kira-kira US$640. Pertamina masih minta US$680. Oke, itu negosiasi, bisa, tapi segera rampungkan, sehingga kembali lagi kita enggak usah impor gas elpiji lagi. Artinya, kembali lagi, neraca kita akan semakin baik.

Kemudian yang berkaitan dengan PLN, masalah transisi energi ke renewable energy, ke energi baru-terbarukan, ya kita ini ditanya oleh dunia. Indonesia itu punya kekuatan yang besar sekali. Geothermal, kita punya 29.000 MW. Hydropower, kita punya sungai itu lebih dari 1.000 sungai besar dan sedang, gede-gede semua, lebih dari 1.000. Dua sungai saja, Sungai Kayan di Kalimantan Utara, itu bisa kira-kira 13.000 MW. Sungai Mamberamo, itu bisa 24.000 MW. (Itu) baru dua sungai.

Kenapa kita enggak segera masuk ke sana, karena investasinya gede, besar? Oleh sebab itu, apa (yang harus dilakukan)? Ya gandeng investor. PLN gandeng, gandeng (investor). Sekali lagi, nanti energi yang green ini harus diberi ruang tersendiri. Wilayahnya dibedakan, green-nya dibedakan, transmisinya dibedakan karena akan kita alirkan ke kawasan industri yang produknya nanti produk hijau, yang mempunyai value, mempunyai harga lebih tinggi dari produk yang biasa. Sama-sama produknya, tapi ini dari energi hijau, (lainnya) ini dari batu bara, ini harganya (lebih) di (produk energi hijau) ini.

Ruang-ruang seperti itu harus dibuka lebar-lebar, Pak Dirut. Buka lebar-lebar. Jangan sampai dipersulit TPA-nya. Tapi memang harus dihitung. Sudah kita kelebihan berapa, ini harus tambah berapa untuk selesai tahun berapa. Semuanya punya hitungan. Sehingga, sekali lagi, urusan perizinan TPA, perizinan awal PPA, itu segera di-reform.  Semuanya di-reform agar semuanya cepat, agar negara-negara lain melihat kita ini memang sudah berubah.

Saya kemarin dua kali (bertemu dengan) berbeda menteri di Dubai dan Abu Dhabi, Menteri Uni Emirat Arab, kemudian di rumahnya Crown Prince MBZ (Mohammed Bin Zayed) juga berbicara. Apa yang mereka sampaikan kepada saya, yang saya seneng banget? “Presiden Jokowi, saya melihat Indonesia sekarang sudah berubah baru.” Saya tanya, “Kenapa? Apanya?” “Semuanya serba cepat. Saya minta ini, sehari-dua hari langsung dikerjain. Saya minta ini, sehari-dua hari sudah selesai, tidak seperti yang sebelumnya.”

Kita sendiri itu pusing betul berhubungan baik dengan birokrasi maupun dengan BUMN. Ini jangan sampai persepsi itu nanti runtuh gara-gara apa yang tadi saya sampaikan tidak dikerjakan dengan cepat.

Saya itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Saya kira, ya saya blak-blakan ini bukan karena untuk apa, (melainkan) untuk kebaikan negara kita, untuk kebaikan Pertamina, PLN.  Dan saya berharap apa yang saya ungkapkan tadi bisa ditindaklanjuti di lapangan, bisa diimplementasikan. Kalau tidak, silakan sampaikan kepada saya, atau ke Pak Menteri dulu. Kalau ada persoalan-persoalan yang memang mentok, besar, dan ada politisnya, silakan. Saya buka pintu saya jam berapa pun.  Kalau ada hal yang besar, yang mungkin perlu dukungan politis, saya bisa sampaikan, “Oke, jalan terus. Saya di belakangmu,” itu. 

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan.

Terima kasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.